Jumat, 16 Januari 2015

HAPPY NEW YEAR 2015

HAPPY NEW YEAR!!!

Well, aku tau ini telat tapi gapapalah belum terlalu telat. lagian ini masih Januari, dan yang terpenting ini postingan pertama aku. Akhirnya ya tahun 2014 telah berlalu. Aku ga mau flsh back, soalnya di tahun 2014 itu bener-bener tahun yang sangat berat buat aku.

WELCOME 2015
so, apa sih yang ingin kalian lakuin di tahun ini? pasti dong kalian udah bikin resolusi
Aku sih no. lah kenapa? soalnya dari tahun-tahun kemarin aku selalu bikin resolusi, tapi apa? banyak yang ga teraih. Bukannya aku pesimis, tapi menurut aku bikin resolusi seperti itu ga terlalu banyak berpengaruh dalam hidup aku. Jadi aku putuskan untuk mengambil setiap kesempatan yang ada di depan mata. aku bukan tipe orang yang selalu merencanakan segalanya dari jauh-jauh hari. Soalnya setiap aku merencanakan sesuatu yang ada semuanya hancur lebur. yang penting buat aku, apa yang aku kerjakan sekarang bisa membuat hidup aku lebih meningkat setiap harinya.

Buat kalian nih yang masih berpikiran kalau resolusi itu penting untuk setiap tahunnya, tapi selalu gagal untuk melakukannya. Coba deh ganti mind set kalian. atau ga coba bikin resolusi yang ga terlalu muluk-muluk, misalnya bisa ngdate 7 hari 7 malem bareng Taylor Lautner. ini sih sampe tahun depan-depan juga ga tau deh bisa kesampean ga.

Itu doang sih yang pengen aku bagi ke kalian, so see you next time. and thanks for coming to my blog   

Selasa, 04 November 2014

Cinta Layangan

Aku tidak mengerti yang aku rasakan
Semuanya terasa membingungkan
Canda tawa yang terlihat
Namun perih yang terasa

Seperti halnya anak kecil yang bermain layangan
Tarik dan ulur itulah triknya
Tetapi jika tidak hati-hati layangan itu akan putus
Entah akan kembali atau tidak

Mengikhlaskan tidak semudah yang dikatakan
Berat untuk melepaskan semua
Yang aku ingin adalah yang terbaik untuk kita

Kuharap suatu saat nanti semua perasaan ini akan terjawab
Cepat atau lambat semua akan ada jawabannya.

Minggu, 09 Maret 2014

Hujan di Bulan Januari




              Pernah dengar kenapa hujan turun?. Hujan turun karena awan-awan yang ada di langit sudah tidak mampu lagi menahan titik-titik air yang membebaninya. Tetapi orang Yunani percaya bahwa hujan diturunkan oleh dewa Zeus sebagai sebuah rezeki. Tapi apapun alasan hujan turun ke bumi ini, menurutku hujan turun untuk menghapus semua kesedihan dan kesalahan yang sudah menumpuk di bumi. Seperti hujan yang saat ini turun membasahiku, hujan ini menghapus semua beban hati yang sudah sangat menumpuk.
            Dari bermiliyar-miliyar orang yang hidup di dunia, hanya segelintir orang saja yang menganggap hujan itu sebagai anugrah terbesar yang diberikan Tuhan kepada umatnya. Salah satunya aku, Liana, gadis remaja asal kota hujan Bogor. Teman-teman dekatku biasanya memanggilku ‘Rain Girl’, mereka memanggilku demikian bukan tanpa alasan. Alasannya hanya satu, aku sangat menyukai hujan. Setiap hujan turun pasti aku selalu menyempatkan waktu untuk menikmatinya, biasanya aku akan berdiri di bawah guyuran hujan atau memandangi hujan yang turun. Bukan karena masa kecilku yang kurang bahagia, tetapi seperti yang sudah kukatakan, hujan menghapus beban hatiku.
            Hah. Setiap kali aku melihat hujan, ingatanku pasti akan melayang kembali saat aku masih SMP, lima tahun lalu. Masa saat aku bertemu dengan kak Ridwan di bawah guyuran hujan.  Saat itu musim hujan di bulan Januari, aku masih duduk di bangku kelas dua SMP.


***

            Hari sudah mulai gelap, mungkin karena sedari tadi hujan turun dengan derasnya. Seperti biasa aku pulang dengan mengendarai motorku, kaca helm yang kuturunkan sudah penuh dengan titik-titik hujan dan hembusan napasku, mataku harus menyipit jika ingin melihat untuk jarak yang jauh, motorku beberapa kali oleng ditiup angin. Aku sudah masuk ke dalam komplek rumahku ketika aku melihat seorang anak laki-laki berdiri di bawah hujan. Sepertinya itu kak Ridwan teman bang David, abangku. Dari ekspresi mukanya aku melihat dia sangat menikmati tiap titik hujan yang menghujam tubuhnya, aku yakin dia sama sekali tidak takut sakit setelahnya. Ngapain ya kak Ridwan di sana? Kurang kerjaan banget, cibirku dalam hati. Aku alihkan pandanganku kembali kejalanan dan mulai meninggalkan kak Ridwan yang tetap berdiri di belakangku.
            Aku sudah mencapai halaman rumahku ketika hujan perlahan mereda. Rumahku bercat putih dengan tipe minimalis, halaman rumahku cukup luas dengan hamparan rumput yang tertata rapih, pepohonan rindang menaungi halaman rumahku dari terpaan cahaya matahari ketika hari sedang cerah. Bermacam-macam tanaman hias tergantung di atas gazebo kecil tempat dimana biasanya keluargaku berkumpul. Ibuku memang penggemar berat tanaman, tiap 
senti rumah ini tak luput dari jamahannya untuk menambahkan koleksinya. Jika dihitung-hitung mungking koleksi tanaman hias ibuku sudah bisa membuat sebuah kebun raya.
            Aku memarkirkan motorku di dalam garasi. Sekilas mataku melihat mobil Honda Jazz putih yang sangat kukenal, kulirik plat nomornya untuk memastikan apakah dugaanku benar. Ya, ternyata benar! ini mobil bang David. Tumben sekali bang David pulang. Oh iya, bang David itu kakak laki-lakiku, sekarang dia kuliah di salah satu universitas negeri di Jakarta. Biasanya sih bang David pulang seminggu sekali saat akhir pekan, tapi akhir-akhir ini dia sudah jarang pulang katanya sih dia sibuk ngurusin tugas-tugasnya yang sudah menggunung.
            Segera saja aku melepas jas hujanku dan melemparkannya ke atas motorku. Aku berjalan masuk dengan tergesa-gesa, mataku bergeriliya mencari keberadaan abangku. Akhirnya aku menemukan dia tengah bersandar santai di sebuah sofa sembari menonton acara televisi. Aku berlari menghampirinya lalu memeluknya, kelewat kencang, dari belakang. Bang David meronta-ronta kesakitan, tangannya menggapai kedua lenganku yang sudah menggamit lehernya.
            “Lian!.” Teriaknya masih berusaha keras menarik lenganku.
            Aku yang merasa kasihan dengan bang David melepaskan pelukanku dan sejurus kemudian aku sudah duduk di sebelahnya, “Lian kangen, abang.” Aku menjatuhkan badanku dan memeluk bang David.
            Bang David membalas pelukanku, “Abang juga kangen Lian kok, makannya ini abang pulang.” Balasnya, sebelah tangan bang David mengacak-acak rambutku.
            Aku menarik badanku menjauhi bang David lalu merapikan rambutku. Kulemparkan tatapan protes ke arah bang David yang tertawa kecil. “Emang tugas-tugas abang udah selsai gitu? Atau jangan-jangan makin menggunung?.”
            “Yee… Enak aja! Tugas abang itu udah kelar semua. Sekarang saatnya santai sejenak deh.” Bang David berlagak seperti seseorang yang sudah terbebas dari semua beban, kedua tangannya dilipat ke belakang kepalanya, kakinya diselonjorkan di atas meja kecil yang berada di antara kami dan televisi. Aku menyoraki bang David sambil memukul pelan bahunya.
            “Udah ah Lian mau ganti baju dulu.” Ucapku. Aku bangkit dari tempat dudukku, dan baru berbalik badan ketika bang David menghentikan langkahku.
            “Nanti malam kamu ada acara tidak?.” Tanya bang David.
            Aku terdiam sejenak. Malam ini, malam minggu. Biasanya teman-temanku mengajakku pergi keluar tetapi sepertinya malam ini mereka tidak ada rencana keluar. “Tidak ada, bang. Memangnya kenapa?.”
            Ekspresi bang David langsung berubah cerah mendengar jawabannya, “Temani abang ya nanti malam.”
            “Kemana? Tumben-tumbenan nih abang mengajak Lian keluar.”
            “Ada deh, nanti aja kamu tahunya. Sekarang kamu ganti baju sana!.” Tanpa banyak berkata-kata lagi aku langsung pergi ke dalam kamarku.
            Malam cerah dengan taburan bintang yang terbentang di langit. Dengan santai bang David mengayuh sepedanya. Aku duduk dengan tenang duduk di atas Top Tube-nya dan memegang stang sebagai peganganku. Aku terbiasa
berboncengan seperti ini dengan bang David, aku berpikir jika aku terjatuh setidaknya bang David bisa melindungiku.
            Bang David berhenti mengayuh saat kami memasuki halaman rumah seseorang. Sepertinya ini rumah kak Ridwan. Aku belum pernah masuk ke dalam rumahnya, kira-kira ada apa ya bang David mengajakku kemari?.
            “Yuk masuk!.” Ajak bang David.
            Aku mengikuti langkah bang David, “Bang ini rumahnya kak Ridwan, ya?.” Tanyaku sedikit berbisik.
            Bang David mengangguk pelan. Bang David memencet bel kecil yang terletak di ujung kanan pintu. Tak berapa lama kemudian muncullah sosok kak Ridwan dengan kaus merah yang dipadukan dengan celana jins hitamnya. Sepertinya pertemuan ini memang sudah direncanakan sebelumnya.
            “Oh kalian. Ayo masuk!.” Ajaknya ramah.
            Aku berjalan mengikuti langkah kak Ridwan. Ruang tamu kak Ridwan tertata rapih, tak banyak ornamen di sana. Hanya ada empat buah kursi dan sebuah meja persegi panjang. Di atas meja itu sudah tersaji air mineral yang tertata disebuah ranjang rotan berbentuk persegi, mungkin itu untuk tamu-tamu yang datang. Di sebelahnya terdapat dua buah toples berisikan kue kering.
Aku mendongak menatap sebuah foto keluarga yang terpajang di dinding berwarna krem. Di dalam foto itu terdapat orang tua kak Ridwan yang duduk disebuah sofa putih, ayah kak Ridwan mengenakan setelan jas hitam dipadu dengan kemeja putih dan dasi biru dongker sedangkan ibunya mengenakan kebaya berwarna emas ditambah selendang batik berwana emas kecoklatan yang diselempangkan di bahunya, kedua kakak perempuan kak Ridwan yang menggunakan gaun pendek selutut berwarna merah muda lembut duduk di atas lengan sofa sembari memeluk orang tua mereka. Mataku menggelinding menatap seorang anak laki-laki yang mengenakan atasan jas hitam dengan bawahan jins hitam, kaki kanannya ditekuk ke atas sedangkan kaki kirinya diselonjorkan ke depan. Itu kak Ridwan, baru kali ini aku melihat kak Ridwan berpenampilan rapih. Dalam foto itu aku melihat senyum kak Ridwan sangat lebar, dia terlihat sangat senang sekali disana. Senyumnya sangat manis, batinku.
“Silahkan duduk!.” Ucapnya mempersilahkan.
Aku sedikit tersontak karena terkejut, aku melirik bang David yang sudah duduk di kursi terdekat dengan kursi kak Ridwan. Tak menunggu lebih lama lagi aku langsung mengambil tempat duduk di sebelah bang David.
Kak Ridwan terdiam mengamatiku dari atas hingga bawah, “Ini adik lu, Dav?.” Tanyanya pada bang David.

“Iyalah, sekarang dia cantik, kan? Gue aja nggak nyangka adik gue bisa secantik ini.” Timpal bang David dengan nada mengejek. Aku langsung melempar pandangan protes ke arah bang David yang dibalas bang David dengan tertawa.
Kak Ridwan tersenyum melihatku, “Dari dulu Liana emang udah cantik kok.” Bela kak Ridwan. Hatiku melambung dipuji oleh kak Ridwan. Dulu sewaktu SD aku memang pernah dekat dengan kak Ridwan. Saat itu bang David sedang sakit cacar jadi aku tak punya teman untuk bermain jadilah sehari-hari aku hanya bermain boneka sendirian di gazebo, lalu kak Ridwan datang dan menemaniku bermain. Setiap hari dia datang ke rumah untuk bermain bersamaku, terkadang dia membawakanku es krim rasa coklat kesukaanku. Aku merasa senang setiap bersamanya. Tetapi setelah bang David kembali sembuh, kak Ridwan sudah tidak pernah ke rumah lagi. “Sekarang kamu sudah SMP ya, Li?.”
“Iya kak, sekarang kaka kuliah dimana?.”
“Kakak kuliah di Yogya tapi sekarang lagi ambil cuti dulu, mau ngurusin bisnis keluarga kakak dulu.”
“Biasa Li, Ridwan ini pebisnis muda jadi dia lebih mentingin bisnis dari pada kuliahnya.” Sambung bang David sambil memakan kue kering. Keluarga kak Ridwan memang keluarga pebisnis tapi aku baru tahu kalau kak Ridwan meneruskan bisnis keluarganya. “Kapan nih jalan-jalannya kalau ngobrol terus?.”
“Oh iya ya sudah sekarang saja kita pergi, lagian si Ratna dari tadi SMSin gue katanya dia dari tadi udah nungguin.”
“Ratna itu siapa kak?.” Tanyaku ketika kami sedang berjalan keluar.
“Ratna itu pacarnya abangmu Li, dia sengaja ngajak kita pergi buat nemenin mereka pacaran.”
“Hah? Bang David punya pacar?.” Tanyaku tak percaya. Seumur-umur baru kali ini aku mendengar bang David punya pacar, setahuku abangku ini tidak pernah dekat dengan perempuan mana pun dan sekarang tiba-tiba aku dapat kabar dia punya pacar.
“Masih gebetan sih belum jadi pacar.” Ucap bang David mengklarifikasi.
“Bentar lagi juga jadian ko.” Dapat kulihat sebuah harapan di raut muka bang David. “Oh iya sepeda butut lu itu tinggal aja disini nanti gue anterin kalian pulang.” Ejek kak Ridwan yang langsung di balas dengan dorongan pelan oleh bang David.
Aku duduk di kursi belakang sedangkan kak Ridwan menyetir mobil dan bang David duduk di sebelahnya. Rupanya kak Ridwan membawa kami kesebuah mall yang tidak jauh dari rumah, meski hawa masih terasa dingin tetapi tak menyurutkan orang-orang yang berdatangan ke mall ini. Setelah memarkirkan mobil kak Ridwan, kami bertiga keluar dari mobil. Baru beberapa langkah berjalan keluar dari mobil seorang perempuan datang menghampiri. Wajahnya cantik sekali dengan rambut panjang yang terurai, kaki jenjangnya dibalut oleh celana jins ketat, sepertinya umur perempuan ini satu tahun dibawah bang David.
“Na, kenalin ini adik gue Liana.” Ucap bang David memperkenalkanku. Perempuan ini memperkenalkan dirinya padaku. Kelihatannya dia baik, tapi ini kan baru penampilan awalnya saja. “Yaudah yuk masuk.”
“Kayaknya gue sama Liana misah aja deh.” Ucap kak Ridwan sambil memberikan kode ke arahku.
“Iya deh bang, Lian sama kak Ridwan misah aja ya, gapapa kan bang?.”
“Kamu gapapa misah sama abang, Li?.” Bang David ini memang paling takut kalau aku terpisah darinya. Aku hanya memberi anggukan pelan untuk meyakinkan bang David.
“Tenang aja Dav, lagian kan si Liana bareng gue ini. Gue jagain deh adik kesayangan lu ini, lu seneng-seneng aja sama si Ratna.”
“Iya deh tapi bener ya lu jagain adik gue, awas lu kalau dia kenapa-kenapa!.”
Setelah mencoba meyakinkan bang David akhirnya kami berpisah juga. Kak Ridwan mengajakku pergi ke zona permainan di lantai tiga. Selama dua jam kami bermain di sana, bermacam-macam permainan kami coba hingga akhirnya perutku keroncongan. Kami pergi membeli makanan disebuah tempat makan tak jauh dari sana. Kak Ridwan yang memilihkan makanan untukku karena dia yang membayarnya. Tak berapa lama setelah memesan, pesanan pun datang. Kami memakan makanan kami dengan tenang tak sedikitpun dari kami bersuara. Baru setelah menyelesaikan makanan kami kak Ridwan mulai bersuara.
“Perasaan udah lama banget ya Li engga main berdua kayak gini. Terakhir ketemu kamu itu kamu masih kecil banget, eh sekarang udah gede aja.” Ucapnya.
“Lagian kak Ridwan sibuk banget sih sampai-sampai enggak pernah main ke rumah lagi.”
“Oh iya apa kabar tuh si Davlin? Masih hidup kan ya dia?.” Kak Ridwan terkikik kecil. Davlin itu salah satu boneka beruang milikku, kata Davlin sendiri berasal dari singkatan nama bang David dan namaku. Bang David memberikan Davlin saat ulang tahunku yang ketujuh, aku sayang sekali dengan Davlin sampai sekarang pun boneka itu masih terpajang di kamarku.
“Davlin masih hidup dong ka, sehat wal afiat malah.” Akupun ikut terkekeh karena mengingat kejadian kak Ridwan dengan Davlin.
Obrolanpun mengalir bagaikan arus air yang deras. Selama berjam-jam aku dibuat tertawa oleh cerita kak Ridwan. Dia menceritakan pengalaman lucunya saat di Yogya. Perutku sampai sakit dibuatnya.
“Maaf nih Li sebelumnya, Liana udah punya pacar belum?.” Pertanyaan kak Ridwan ini membuatku terdiam sejenak. Aku memang belum mempunyai pacar, karena sejak dulu aku sedang menunggu seseorang.
“Liana belum punya pacar ka.” Jawabku.
“Padahal Liana kan cantik masa sih belum punya pacar.” Goda kak Ridwan.
Dapat kurasakan semburat merah muncul di wajahku, “Liana belum mau pacaran dulu kak, masih mau fokus sekolah dulu.” Dalihku. “Kak Ridwan sendiri bagaimana? Udah punya pacar belum?.” Tanyaku. Sekilas kak Ridwan terlihat salah tingkah namun secepat kilat dia menguasai dirinya kembali.
“Sama seperti kamu, kakak belum mau pacaran dulu. Sebenarnya sih ada seorang perempuan yang dari dulu kakak suka, tapi kakak enggak tahu dia suka sama kakak enggak.” Pandangan kak Ridwan tajam menatap mataku, menahan mataku agar tak berpaling dari pandangannya. “Balik yuk!.” Ajaknya membuatku buru-buru mengalihkan pandanganku.
“Ah ayuk kak.”
Kak Ridwan menggandeng tanganku lalu pergi menuju tempat parkir. Siapa ya kira-kira perempuan yang kak Ridwan suka? Dia pasti perempuan yang sangat beruntung bisa mendapatkan hati kak Ridwan, aku jadi iri dengan perempuan itu. Andaikan saja perempuan itu aku, aku pasti akan sangat bahagia sekali. Ah aku ini mikir apa sih lagi pula kan kak Ridwan ini temannya bang David, pasti kak Ridwan sudah menganggapku sebagai adiknya sendiri. Ternyata bang David dan kak Ratna sudah menunggu di tempat parkir. Kami menghampiri kak Ridwan dan kak Ratna, sedari tadi kak Ridwan tak melepaskan gandengannya.
“Dari mana aja sih lu? Gue telponin enggak diangkat.” Gerutu bang David.
“Maaf deh, keasikan ngobrol sama Liana. Mau balik sekarang?.”
“Iya, udah malem juga.” Timpal kak Ratna.
“Tapi gue enggak ikut kalian, gue mau anterin Ratna kasian dia sendirian.” Sambung bang David.
“Oh gitu, yaudah kalian hati-hati ya.” Ucap kak Ridwan.
Setelah berpamitan denganku bang David pergi menunju mobil kak Ratna. Kak Ridwan baru melepaskan gandengan tangannya ketika dia membuka pintu mobil. Aku masuk ke dalam mobil, tetapi sekarang aku duduk di sebelah kak Ridwan. Baru saja masuk kami bergerak mataku sudah merasa sangat berat sekali dan tanpa sadar aku sudah memasuki alam tidurku.
Aku merasa badanku seperti melayang, dengan susah payah aku mencoba membuka mataku. Remang-remang aku melihat tembok-tembok berjalan melewatiku. Kucoba mengangkat tanganku namun gagal, kujatuhkan tanganku di atas benda keras. Kucoba buka lebih lebar mataku dan mendapati wajah kak Ridwan, dia tersenyum ke arahku, tetapi senyum itu hilang ditelan gelap.
Dinginnya udara pagi menusuk kulitku, hujan lagi, badanku bergidik karena kedinginan. Kurenggangkan seluruh badanku yang terasa sangat kaku. Hmm ini seperti kamarku, ya ini memang kamarku! Aku tidak ingat memasuki kamar ini semalam. Kak Ridwan! Semalam aku bermimpi kak Ridwan menggendongku. Kugulingkan badanku kesamping dan mendapati sebuah jaket hitam tergeletak di sebelahku. Ini kan jaket kak Ridwan, apa mungkin semalam itu bukan mimpi? Lebih baik kukembalikan sekarang juga.
Setelah mandi dan berganti pakaian, dengan jaket kak Ridwan dan payung di tanganku aku langsung pergi ke rumah kak Ridwan dengan berjalan kaki. Tadi di rumah aku tidak bertemu dengan bang David mungkin dia sekarang sedang bersama kak Ridwan. Begitu sampai di rumah kak Ridwan aku langsung memencet bel, tapi tak kunjung ada balasan. Aku memutuskan untuk masuk karena pintu depan tak tertutup rapat.
“Permisi.” Ucapku sambil melangkah masuk. Sepi sekali, tak ada seorang pun di sini.
PRANG!
Aku terlonjak kaget, mataku bergelindingan mencari sumber suara tersebut. Suara apa tadi? Aku memberanikan diri untuk menghampiri sumber suara itu. Sepertinya itu berasal dari sebuah kamar tak jauh dari ruang tamu. Sayup-sayup aku mendengar sebuah suara. Aku tak asing dengan suara itu, itu suara bang David, sedang apa dia di sini? Aku berhenti di depan sebuah kamar yang pintunya terbuka lebar. Kumelihat bang David berdiri membelakangiku, aku bisa melihat sebuah jarum suntik dan sebuah kotak plastik tergeletak dilantai. Rupanya benda itu yang jatuh tadi.
“Lu bilang lu udah tobat!.” Suara bang David terdengar sangat marah.
“Gue enggak bisa jauh dari benda itu Dav.” Jawab kak Ridwan lirih.
“Gue enggak bisa biarin,  gue harus buang benda haram ini!.” Bang David merunduk memungut jarum suntik. Aku bisa melihat kak Ridwan terduduk bersandar di dinding, raut wajahnya sangat frustasi, penampilannya pun sangat berantakan, ini seperti bukan kak Ridwan yang biasanya.
“Jangan Dav, lu enggak bisa lakuin ini ke gue!.” Kak Ridwan bangkit dan langsung menyerang bang David, dia mendorong bang David hingga tersungkur di lantai, tubuh kak Ridwan menimpa bang David. Tangannya masih memegang erat kotak pelastik itu. “Balikin benda itu ke gue!.” Tangan kak Ridwan mengais-ngais mencoba merebut kotak itu, bang David tak tinggal diam dia berusaha mempertahankan kotak itu tetap di genggamannya.
Bang David sekuat tenaga mendorong kak Ridwan hingga menabrak dinding di belakangnya. Dorongan bang David terlalu keras sehingga kak Ridwan meringis kesakitan. Tetapi kak Ridwan tak menyerah begitu saja, bagai kerasukan kak Ridwan terus menyerang bang David dengan bertubi-tubi.
“Lu enggak bisa terus-terusan bergantung sama narkoba, Wan!.” Aku memekik keras ketika  bang David melayangkan tinju panasnya tepat di pelipis kak Ridwan, jaket kak Ridwan yang tadi tergantung di lenganku kini terjatuh dari lenganku. Secara bersamaan bang David dan kak Ridwan menengok ke arahku, “Lian, sejak kapan kamu di sana?.” Tanya bang David terbata.
Aku terlalu terkejut untuk bisa merespon pertanyaan kak Ridwan. Aku hanya berdiri terpaku sambil menutup mulutku menggunakan kedua tanganku. Badanku bergetar, air mata mulai menggenang, seluruh badanku kaku bak patung. Apa yang baru saja terjadi? Ini pasti mimpi, aku pasti belum terbangun dari tidurku, tak mungkin kak Ridwan menggunakan narkoba. Kak Ridwan orang yang baik, sejak dulu dia tak pernah menampakan bahwa dia memakai narkoba.
“Li…an.” Panggil Kak Ridwan, suaranya bergetar mungkin dia juga terkejut sama seperti aku.
Aku berlari meninggalkan bang David dan kak Ridwan. Aku berlari sekencang-kencangnya tak peduli bang David terus menerus meneriakan namaku. Tak kupedulikan tatapan orang yang melihatku berlari sembari menangis, aku juga tak memperdulikan air hujan yang membasahi tubuhku. Aku hanya ingin berlari. Tak terasa akhirnya aku sudah sampai di rumahku, aku hanya menggelengkan kepalaku  ketika ibu khawatir tentang keadaanku dan masuk ke dalam kamarku. Kukunci pintu kamar, dan melempar tubuhku ke atas kasur. Kutenggelamkan kepalaku dan menangis sejadi-jadinya di sana.
Apa ini benar? kak Ridwan memakai narkoba. Tidak mungkin pasti aku salah, itu semua tidak benar, aku salah. Kenapa harus kak Ridwan? Orang yang aku sayang, orang yang membuatku tersenyum, orang yang mengerti aku, orang yang menggandeng tanganku dengan lembut, orang yang kucinta. Kenapa harus dia?
“Lian, Lian buka pintu!.” Bang David berteriak di balik pintu, bang David menggedor pintu kamarku karena aku tak menjawabnya. “Lian tolong buka pintu, ada yang ingin abang jelaskan. Buka pintunya!.” Aku berjalan terseok menuju pintu. Aku sempat terdiam sejenak, ragu untuk membuka pintu. Kubuka pintu kamar dan melihat wajah khawatir bang David.
“Abang…” Aku memeluk bang David dan menangis di dalam pelukannya, “Yang Lian lihat tadi itu tidak benar, kan? Itu semua mimpi, kan?.”
Tangan bang David mengelus rambutku berusaha menengkan diriku, “Itu benar, Li.” Jawab bang David pelan, “Ridwan memang seorang pecandu.” Mendengar jawaban bang David, badanku langsung lemas, seakan semua tulang-tulangku rasanya hilang begitu saja.
“Kenapa?.” Aku berkata pelan.
“Sepertinya abang bukan orang yang tepat untuk menjelaskan ini.” Aku mendongak, “Ridwan menunggu di depan, dia ingin menjelaskan ini.” Kak ridwan di sini. Aku harus bagaimana? “Ayuk!.” Tangan bang David menggandeng tanganku berjalan keluar.
Aku berhenti ketika melihat kak Ridwan sudah duduk di ruang tamuku. Penampilannya sudah rapih sekarang, namun raut mukanya masih telihat frustasi. Dia langsung berdiri ketika melihatku. Kak Ridwan mengajakku untuk keluar rumah, dia ingin menjelaskan apa yang baru saja aku lihat. Aku hanya mengikutinya tanpa banyak bicara. Kak Ridwan berhenti di Gazebo, dia tetap berdiri sedangkan aku terduduk di atas kursi rotan. Untuk sesaat yang terdengar hanyalah rintik-rintik hujan.
“Yang kamu lihat dan dengarkan tadi itu benar.” kak Ridwan mulai menjelaskan. “Kakak memang seorang pecandu. Sejak SMA kakak sudah memakai benda itu. Aku sudah sangat bergantung pada benda itu, seolah tanpa benda itu aku akan mati. Berkali-kali aku mencoba berhenti dari narkoba, tapi aku selalu gagal. Aku tak bisa jauh dari benda itu.” Kak Ridwan terlihat bersungguh-sungguh ketika menjelaskan itu semua, “Sekarang jika kamu mau marah silahkan saja yang penting kakak sudah menjelaskan semuanya.
“Bang David. Apa dia….”
“Tidak. David bersih, dia sama sekali tak menyentuh benda itu. Bahkan dia selalu meminta kakak untuk berhenti.” Jawabnya, “Tadi dia memergoki kakak saat kakak ingin menghisap ganja. Dia marah karena setahu dia kakak sudah berhenti memakai benda itu.” Aku hanya menatap kak Ridwan tanpa mengeluarkan kata-kata. Kak Ridwan meraih kedua tanganku, dan digenggamnya erat-erat, “Sekarang kakak berjanji. Kakak akan berhenti memakai narkoba, kakak akan mengikuti rehabilitasi, kakak sudah tak ingin diperbudak oleh benda itu. Demi kamu Lian, kamu mau kan menunggu kakak?.” Aku hanya mengangguk, “Kakak akan kembali dan menemuimu saat kakak sudah bersih dari narkoba. Tunggu kakak ya Lian.”

***

Sampai saat ini aku tidak mengerti maksud dari perakataan kak Ridwan. Empat tahun berlalu, selama itu pula aku tak pernah mendengar kabar dari kak Ridwan. Aku tak tahu seperti apa dia sekarang, bang David hanya bilang sekarang kak Ridwan sudah berangsur-angsur terbebas dari narkoba. Aku hanya bisa berharap sekarang dia sudah benar-benar bersih. Oh Tuhan, aku sungguh rindu padanya. Ingin sekali rasanya aku bisa bertemu dengannya, tapi kapan? Sampai kapan aku harus menunggu kak Ridwan? Dan apa maksud perkataannya saat itu?
“Jadi sekarang kamu juga suka hujan?.” Suara itu, itu seperti suara kak Ridwan. Aku pasti terlalu merindukannya sampai-sampai aku mendengar suaranya dalam kepalaku. “Sudah berapa lama kamu berdiri di sana?.” Suara itu lagi.
Tiba-tiba saja hujan di sekitarku berhenti. Aku membuka mataku, aneh aku masih melihat hujan turun di hadapanku, tapi kenapa hujan berhenti membasahiku. Kudongakkan kepalaku dan mendapati sebuah payung biru menaungiku. Itu kan payungku, bang David! Kuputar tubuhku dan mendapati seseorang berdiri di belakangku. Aku dapat mengenali wajah laki-laki itu meski wajahnya sedikit berubah, senyum manisnya seolah magnet yang membuatku tersenyum.
“Kamu pasti lupa denganku.” Ucap kak Ridwan. Kak Ridwan memakai kemeja putih dengan dasi hitam, penampilannya sangat terlihat beda lebih terlihat dewasa. Sekarang pasti kak Ridwan sudah benar-benar fokus mengurus bisnisnya.
“Kak Ridwan.” Ucapku pada ahirnya setelah mengalami kehilangan suara. “Kakak pulang.” Suaraku sedikit bergetar karena terharu dapat melihat kak Ridwan kembali.
“Kakak menepati janjiku, sekarang kakak sudah terbebas dari narkoba.” Kak Ridwan melepaskan payung yang ia pegang, sekarang hujan kembali membasahi badan kami berdua. Kak Ridwan meraih kedua tanganku sama seperti saat terakhir aku bertemunya. “Sekarang sudah saatnya kakak mengungkapkan perasaan kakak yang selama ini kakak pendam.”
Rupanya kak Ridwan masih menyukai perempuan yang ia ceritakan saat itu. Hah pupus sudah, ternyata perasaanku pada kak Ridwan tak akan pernah terbalas. “Kalau begitu cepat kakak pergi temui dia sebelum semuanya terlambat.” Ucapku menahan rasa sakit di dadaku.
Kak Ridwan menggenggam tanganku erat lalu tersenyum, “Dia di depanku sekarang.” Aku terpaku tak tahu harus berkata apa, “Lian, dari awal kita bertemu kakak merasa kakak ingin terus menjagamu. Kakak pikir rasa sayang kakak padamu hanya rasa sayang sebagai kakak, tetapi rasa ini tak pernah hilang sampai sekarang. Kakak tak pernah tahu perasaanmu pada kakak, yang penting sekarang kakak sudah mengungkapkannya.”
Senyumku terkembang lebar. Ternyata perasaanku terbalas, selama ini kak Ridwan merasakan apa yang kurasa. “Sebenarnya… Lian juga merasakan hal yang sama. Lian sejak dulu sudah suka kakak tapi Lian tak berani mengungkapkannya.” Wajah kak Ridwan terlihat sangat senang ketika aku mengucapkan kata-kata itu. Dia langsung menarikku kedalam pelukannya.
Hujan di bulan Januari, hujan yang mempertemukanku pada kak Ridwan, orang yang telah lama aku tunggu. Dan kini aku juga percaya hujan dapat membawa kebahagian untuk siapa saja yang memerlukannya.