Jumat, 21 Juni 2013

Kenangan Tak Terlupakan

Kuterjang pintu kayu dihadapanku keras-keras, hingga menabrak tembok dibelakangnya. Bunyi hantaman bergema keras, sedikit membuat telingaku sakit. Tetapi ku tak memperdulikannya. Ku berlari dan menjatuhkan tubuhku diatas kasur putihku. Tangisku pecah saat aku menenggelamkan kepala dibawah bantal Doraemon-ku. Lama aku tenggelam dalam tangis, bantal ini sudah basah oleh air mata, hingga ku tersadar siapa pemberi bantal ini.  Kuangkat badanku, dan terduduk menyilangkan kaki.
“Ugh….” Erangku,  meremas keras bantal Doraemon-ku. Melampiaskan semua amarah, dan kecewaanku. Hari ini adalah puncak dari kekesalanku terhadap Adrian, mantan pacarku, yang baru saja memutuskanku kemarin.  Kuangkat bantal itu melewati kepalaku, dan kulempar ke arah tembok dihadapanku. Bantal itu mendarat tepat di kaus putih yang kugantung, kaus itu bergoyang ke kanan dan ke kiri sementara bantal Doraemon-ku jatuh keatas lantai. Aku bangkit, dan berjalan kearah dua benda tersebut. Kupungut bantalku dan melemparnya sembarang.
Aku meraih kaus itu, dan menatap tulisan ADRIYANTI diatas kaus putih itu. Ini memang kaus couple-ku dengan mantanku. Adrian Nuryansyah, dia mantan pertamaku. Adrian adalah teman sekelasku, kami sudah berteman sejak SMP namun baru Juli lalu ia menyatakan cintanya padaku. Dia sangat baik padaku. Selama kami pacaran, dia tak pernah menyakitiku. Hobi dia, memberi kejutan untukku. Mulai dari kejutan kecil, hingga kejutan yang besar. Ada satu kejutan darinya yang belum aku lupakan sampai sekarang.
                                                            ***
            Kubuka mataku. Menatap langit-langit kamar yang dihiasi dengan semburat cahaya pagi. Kulirik kalender yang berada diseberang kasurku. Dan mataku menangkap lingkaran merah di angka dua dibulan Agustus. Ini hari jadianku yang ke sebulan dengan Adrian. Tak terasa aku dan dia sudah menjalani hubungan ini selama sebulan. Kira-kira dia ingat tidak ya hari ini? Aku tersenyum sendiri membayangkan Adrian mengucapkan ‘Selamat hari jadi yang ke sebulan’. Jika saja ibuku tidak berteriak menyuruhku bangun, mungkin aku akan terus membayangkan hal itu terjadi. Kulangkahkan kaki keluar kamar. Kulihat ibuku tengah berkutat dengan masakannya. Kusambar handuk dari atas kursi. “Yanti sudah bangun, bu.” Kataku, sembari berjalan kearah kamar mandi.
            Badanku sudah bugar kembali, ketika keluar dari kamar mandi. Cepat-cepat aku berlari menuju kamarku. Kuambil seragam yang menggantung didalam lemari lalu memakainya. Kusisir rambutku yang berantakan, menambahkan bedak tipis ke wajahku, lalu menyemprotkan parfum. Ponselku berdering ketika aku tengah mengambil tas. Kuambil dan melihat nama Adrian tertera dilayar, kutekan tombol OK. “Halo.” Jawabku.
            “Aku sudah didepan nih yang.” Balas suara diseberang telpon.
            Aku berjalan keluar kamar, “Oke, tunggu ya yang sebentar lagi aku keluar.” Aku menekan tombol End. “Bu, Yanti berangkat dulu ya.” Pamitku.
            “Adrian sudah datang, ya?.” Tanya ibuku. Dari dulu Adrian memang sering mengantar jemputku, jadi ibuku tak akan heran jika pagi-pagi Adrian sudah berada didepan rumahku. “Suruh masuk dulu.”
            Aku mengambil selembar roti, lalu menggigitnya, “Enggak usah bu, udah telat nih.” Balasku. Aku menyalami tangan ibu, lalu berlari menuju pintu keluar. Adrian sudah berada didepan rumahku, duduk diatas motor hitamnya. Aku berjalan dengan riang, dalam pikiranku aku menebak-nebak apakah Adrian akan mengingatnya atau tidak. Aku berhenti dihadapannya, memasang senyum penuh harap.
            “Ayo berangkat, nanti telat.” Ajak Adrian. Aku memandangnya heran. Dia tidak ingat sekarang hari jadian yang ke sebulan.
            Aku berjalan dengan malas kebelakangnya, dan duduk diatas jok penumpang, “Yang sekarang tanggal berapa?.” Tanyaku, berusaha agar Adrian ingat hari ini.
            Adrian diam sejenak, “Tanggal dua, ada apa?.” Tanyanya polos. Adrian benar-benar lupa, hari spesial kami.
            “Engga, ayo berangkat, nanti kita terlambat.” Ucapku berusaha menutupi nada kesal namun tak berhasil. Adrian tak memperdulikan nada kesalku, dia langsung melajukan motornya membelah jalanan yang mulai ramai. Sepanjang perjalanan Adrian sama sekali tak menyadari momen hari ini, walaupun sedari tadi aku terus menerus memancingnya. Hingga akhirnya aku menyerah, dan menutup mulutku disisa perjalanan.
            “Kamu kenapa yang, dari tadi kok cemberut terus?.” Tanya Adrian, ketika kami sudah berada di parkiran sekolah. Motor-motor sudah berjajar rapih, menyisakan jalan setapak untuk keluar dari barisan.
            Aku menunduk sebentar lalu menggeleng pelan, “Engga ada apa-apa kok.” Jawabku.
            “Bener? Aku membuat kesalahan ya?.”
            “Tidak, kamu tidak salah.” Iya kamu tidak salah, tapi aku yang salah. Aku yang terlalu berharap kamu ingat hari ini.
            “Yasudah, jangan cemberut terus, nanti tambah jelek.” Adrian tertawa kecil dan aku membalasnya dengan senyum simpul. Adrian berhenti tertawa dan menggandeng tanganku menuju kelas. Didalam kelas, aku melihat Adara. Dia tengah asyik membaca novel yang baru saja ia beli, sehingga tak menyadari aku sudah berada disampingnya. Oh iya, tadi Adrian bilang, dia harus pergi ke kelas Radit ada sesuatu yang penting untuk dibicarakan, entah apa itu yang penting.  Adara tersentak terkejut, ketika melihat aku disampingnya. Dia meletakan novelnya diatas meja, dan memutar tubuhnya melihat aku.
            “Hai Yan, kamu sudah datang.” Sapanya. Aku tersenyum masam, “Kamu pagi-pagi sudah cemberut saja, ada apa?.” Tanya Adara menyadari ada yang aneh dengan aku.
            Aku menarik napas panjang, dan menikmati udara yang mengisi paru-paruku, “Adrian, ra.” Ucapku dengan nada kekanak-kanakan,           “Adrian lupa, kalau hari ini satu bulan jadian aku dengan dia.” Keluhku, “Padahal aku berharap, momen seperti ini akan dia ingat. Walaupun tidak membuat perayaan yang besar, setidaknya dengan dia mengingatnya aku akan sangat senang.” Adara mengangguk pelan, dia sudah seperti psikolog yang sangat ahli dan terbiasa menghadapi masalah remaja seperti ini.
            “Kenapa tidak kamu katakan saja pada Adrian?.”
            Alisku bertautan, “Tidak mungkin aku bilang langsung, bisa malu aku. Nanti dia pasti berfikir aku mengharapkan dia mengingatnya, ya walaupun memang itu kenyataannya.” Adara membuka mulut untuk membantah ucapanku, namun aku memotongnya, “Aku sudah memberikan kode-kodenya, mulai dari menanyakan tanggal, hingga menanyakan hal-hal yang terjadi pada bulan lalu. Tetapi tetap saja dia tak mengingatnya, mungkin dia terkena amnesia akut.” Aku mencibir.
            Adara tertawa melihat tingkahku, “Caramu kuno Yan.” Ejeknya, “Sekarang ini sudah tidak jaman lagi memberi kode-kode seperti itu, sekarang jamannya frontal. Katakan sejujurnya apa yang mau kamu katakan.”
            “Aku tidak bisa frontal ra, aku terlalu malu untuk melakukan itu. Seharusnya Adrian yang mengatakannya”
            “Atau bisa dibilang gengsimu tinggi Yan.” Aku tak membantahnya, Adara memang benar, “Kamu harus menurunkan gengsimu itu.”
            “Bagaimana caranya?.” Tanyaku.
            “Hanya kamu yang tahu caranya.” Mulai deh, Adara menjadi  Adara yang misterius.
            Adrian baru kembali ketika bel masuk berbunyi.  Dia sama sekali tak menyapaku. Sikapnya menjadi dingin kepadaku, bahkan dia tidak menoleh sama sekali. Sepanjang pelajaran yang kuperhatikan hanyalah punggung Adrian. Adrian hanya menengok ketika Adara memanggilnya, itupun aku yang menyuruh Adara untuk memanggilnya. Usahaku sedikit berhasil walaupun Adrian sama sekali tak menatapku.
            Bel istirahat berbunyi. Semua orang berbondong-bondong keluar ruangan. Semuanya kecuali aku dan Adara. Aku sengaja menahan Adara agar tetap ditempatnya. Adara dengan pasrah mengabulkan permintaanku, mengambil novelnya kemudian membacanya.
            “Ra, Adrian kenapa ya? Kok dia jadi diemin aku begitu?.” Adara hanya mengangkat bahu, “Ih Adara, ayo dong cari tahu.” Paksaku.
            Adara mengalihkan pandangannya dari novel ke aku, “Kamu tanya sendiri saja ke orangnya.” Balas Adara.
            Aku menatap Adara ragu, “Hmm, gitu ya?.” Adara mengangguk mantap, “Jadi sekarang aku harus cari dia?.”
            “Iya betul sekali!.” Jawab Adara semangat, “Sudah sana cepat cari Adrian!.” Adara mendorong tubuhku pelan.
            Aku berdiri masih menatap Adara, “Kamu tidak  mau ikut?.”
            Adara menatapku geram, “Ini kan masalahmu, jadi kamu yang harus menyelesaikannya.” Aku bergeming ditempatku, “Sudah sana! Aku masih mau membaca novelku.”
            Setelah Adara mengusirku dari kelas, aku langsung mencari Adrian. Aku sudah mencarinya kemana-mana namun mulai dari lapangan basket, kantin, perpustakaan, hingga kelas Radit tetapi aku tak melihat Adrian. Kemana ya dia? Kukirim pesan kepadanya, dan memutuskan untuk menunggu balasannya.
            Tiga menit kemudian Adrian membalas pesanku. Dia bilang, dia berada di kelas Hilmi, temannya yang lain. Aku memutuskan untuk menyusulnya. Memanjat tangga munuju lantai dua. Aku berbelok ke kanan dan meraih kelas pertama yang dekat dengan tangga.
            Ternyata benar Adrian memang ada disana, duduk disebelah Hilmi. Dia sedang mengobrol dengan teman-temannya. Aku berjalan cepat-cepat kearahnya. Dan meraih tangannya, mengajak dia keluar dari kelas.
            “Ada apa?.” Tanya Adrian, aku hanya memberikan kode untuk keluar. “Aku keluar dulu ya.” Ucap Adrian. Aku menarik Adrian hingga keluar dan menjauh dari kelas Hilmi. “Ada apa yang?.” Ulang Adrian.
            Aku terdiam sejenak, “Kamu kenapa yang?.” Tanyaku. Kening Adrian berkerut, “Dari tadi pagi kamu enggak bicara sama aku.”
            Senyum Adrian mengembang, kedua tangannya meraih tanganku, “Maaf ya sayang, tadi pagi itu aku lagi ada masalah.” Akunya.
            Aku menatap matanya, “Masalah apa yang? Kenapa kamu enggak cerita sama aku?.” Tanyaku khawatir.
            Adrian tertawa kecil, “Sudahlah yang, masalahnya juga sudah selesai.” Aku menatapnya tak percaya, “Beneran deh aku enggak bohong. Omong-omong nanti siang kamu ada acara gak?.”
            “Enggak ada, emangnya ada apa?.”
            “Nanti siang aku mau ngajak kamu pergi.”
            “Pergi kemana yang?.”
            “Ada deh, kejutan, nanti juga kamu tahu.” Sejak kapan Adrian seperti Adara yang suka berubah menjadi misterius begini?. “Sekarang kita masuk kelas yuk, sebelum bel berbunyi.” Adrian menggandeng tanganku.
            “Kamu kok jadi seperti Adara sih.” Protesku. Adrian hanya tertawa melihatku.
            Aku sudah tidak sabar menunggu kejutan dari Adrian. Sampai-sampai aku tak bisa fokus memperhatikan penjelasan bu Indri. Berkali-kali aku melirik jam tanganku, hingga ahirnya bel yang aku tunggu pun berbunyi. Kumasukan buku-buku yang berserakan diatas meja, karena semangatnya hingga aku tak mendengarkan ucapan bu Indri. Begitu mendongak, sosok bu Indri sudah menghilang, dan digantikan oleh sosok Adrian.
            “Ayo, nanti kita kemalaman.” Ajak Adrian. Kami berjalan keluar menuju tempat parkir. Seberapa kerasnya aku mencoba agar Adrian memberitahu kemana kami akan pergi, namun usahaku sia-sia saja.
            Jalan yang kami lewati sama sekali tidak femiliar dimataku. Motor Adrian masuk ke gang sempit yang sepi. Rumah-rumah semakin jarang, pepohonan semakin rapat membuat udara semakin sejuk. Seiring kami memasuki jalan ini lebih dalam, peganggangan tanganku di pinggang Adrian semakin kencang. Adrian hanya terkikik melihat ketakutanku. Kami berhenti didepan jalan setapak. Aku dan Adrian turun dari atas motor.  “Tempat apa ini yang?.” Tanyaku. Mengedarkan pandangan keseluruh pohon disekitarku.
            “Bukan tempat ini yang ingin ku perlihatkan.” Adrian berjalan mengitari tubuhku, sekarang dia sudah berdiri tepat dibelakangku, “Kamu harus menutup matamu.” Adrian menutup kedua mataku dengan telapak tangannya, “Kamu tenang saja, kamu akan baik-baik saja.” Bisiknya, aku tak bisa membantah, tak ada waktu untuk tidak mempercayainya.
            Jalanan semakin jauh semakin berbatu. Berkali-kali kakiku tersandung kerikil, dan berkali-kali pula Adrian harus menyangga badanku. Kurasa sudah sangat jauh dari awal jalan setapak tadi. Adrian menyuruhku berhenti, dan menghitung sampai tiga baru aku diperbolehkan membuka mata. Satu, dua, tiga, aku membuka mata. Sebuah danau yang indah, terpampang dihadapanku. Samar-samar aku melihat seorang wanita tengah bernyanyi diiringi oleh seorang laki-laki dengan gitarnya. Begitu mataku bisa beradaptasi aku mengenali mereka, mereka adalah Adara dan Radit.  “Happy anniversary.” Ucap Adrian. Aku tak mampu mengucapkan sepatah katapun, ini kejutan terindah yang pernah kudapat, “Maaf aku sudah membuatmu kesal, tetapi semua itu kulakukan untuk ini.” Sambung Adrian sembari memelukku.
                                                  ***
Itu adalah kenangan terindah sekaligus menyakitkan bagiku. Adrian yang sangat kusayangi, kini tak dapat lagi kumiliki. Dia memutuskanku tepat dua hari sebelum hari jadi kami yang ke dua bulan, dengan alasan dia ingin fokus untuk sekolah. Dan yang membuat hatiku hancur, tadi siang aku melihatnya dengan seorang perempuan, yang aku dengar dia adalah pacarnya yang baru. Aku menatap kaus ditanganku, merenggut bantal Doraemon yang tergeletak dilantai, lalu membuangnya ke tempat sampah. Tak ada gunanya lagi untuk menyimpan semua kenangan ini. Kini semuanya tinggal kenangan.

Senin, 10 Juni 2013

Pelajaran Berharga Dari Sari



Dara, Lia dan Puput adalah sekumpulan geng anak orang kaya yang selalu memamerkan harta orang tua mereka. Semua orang di sekolah sudah mengetahui sifat mereka, dan tak ada satu orang pun yang ingin dekat dengan mereka, karena mereka begitu sombong dan selalu menganggap orang lain lebih rendah dibanding mereka. Berbanding terbalik dengan Sari, anak sederhana dan pemalu. Sari selalu saja dianggap remeh oleh mereka bertiga walaupun nilai  pelajaran Sari sangat jauh diatas mereka. Setiap hari selalu saja Sari mendapatkan ledekan dari Dara, Lia, dan Puput, namun ada satu orang yang selalu membela Sari, yaitu Robi. Robi adalah satu-satunya sahabat yang dimiliki oleh Sari, walaupun Robi anak orang kaya tetapi ia tidak suka memamerkan hartanya.
            Didalam kelas, Dara, Puput dan Lia sedang membicarakan rencana mereka yang akan berlibur bersama.
            Dara : “Liburan nanti kita pergi kemana nih? Paris atau Roma?.”
            Puput : “Jangan kesana ah, aku sudah bosan. Liburan tahun lalu aku sudah pergi ke Paris dan dua tahun yang lalu aku sudah pergi ke Roma.” (berkata dengan sombong)
            Dara : “Sepertinya seluruh penjuru dunia ini sudah kamu datangi deh Put.”
            Puput : (Tertawa) “Iya dong, orang tuaku kan selalu mengajakku liburan keluar negeri.”
            Lia : “Tapi ada satu tempat yang belum pernah kamu kunjungi, Put.” (angkat bicara)
            Puput : (terkejut) “Dimana? Perasaan semua tempat sudah aku datangi, atau mungkin aku lupa ya, maklum sudah kebayakan jalan-jalan ke luar negeri”
            Lia : “Itu kerumahnya si Sari.” (tertawa sambil menunjuk Sari yang tengah berjalan menuju tempat duduknya)
            Puput : “Idih tidak level aku pergi ke rumahnya si anak kampung, bisa-bisa semua badanku yang mulus dan halus ini bisa rusak sama seperti kulitnya.”
            Dara : “Benar sekali, lagi pula memangnya si Sari itu punya rumah, ya? Lihat saja deh penampilannya dekil bin kumel gitu, mana mungkin dia punya rumah, kalau pun punya pasti cuman rumah kardus.” (sembari mengibas-ngibaskan tangannya)
            Sari : (melirik kebelakang)
            Robi : “Kamu kenapa, Sar?.”
            Sari : (menggeleng lalu tersenyum) “Tidak kenapa-kenapa kok.”
            Robi : “Pasti mereka mengganggu kamu lagi ya Sar?.”
            Sari : (diam)
            Robi : “Eh kalian itu tidak bosan apa mengganggu Sari terus? Kalian iri ya sama Sari?.” (berteriak)
            Dara : “Hah? Kamu tidak salah Rob? Kami iri sama dia? Kamu mikir dong Rob, kami sama dia itu tidak selevel.”
            Robi : “Kalian itu tidak lebih baik dari Sari!.”
            Puput : “Eh Rob, kamu tuh kenapa sih selalu membela anak kampung itu? Kamu tuh berbeda kasta sama dia, kamu seharusnya gabung dengan kita, bukannya sama dia. Anak yang entah dari mana datangnya.”
            Lia : “Atau jangan-jangan kamu suka ya sama Sari?.”
            Puput : “Apa? Robi suka sama Sari? Tidak mungkin deh ya, masa iya Robi suka sama anak dekil bin kumel itu.” (tertawa bersamaan)
            Sari : “Sudah Rob, nanti kalau kamu lanjutin kamu bisa dihukum lagi.”
            Robi : “Biar Sar, aku tidak terima kalau kamu terus-menerus jadi bahan ledekan mereka!.”
            Sari : “Kalian kenapa sih selalu meledek aku? Memang aku punya salah ya sama kalian?.”
            Lia : “Eh kita lanjutin ngobrolnya di kantin saja yuk, hawanya sudah tidak enak disini.” (tidak menghiraukan pertanyaan Sari)
            Puput : “Ayok, aku juga sudah mulai enek disini.”
            Puput, Dara, dan Lia meninggalkan kelas.
            Sari : “Rob, kamu tuh kenapa sih selalu aja kepancing sama mereka? Kamu kan sudah tahu mereka sifatnya memang begitu.”
            Robi : “Aku tidak terima jika mereka menjelek-jelekan kamu.”
            Sari : “Tapi kan kamu bisa menghiraukan mereka, anggap saja mereka angin atau semut-semut yang berjalan ditembok yang tak pernah kita hiraukan.”
            Robi : (tertawa) “Baiklah, akan kuusahakan.”
            Sementara itu di kantin.
            Puput : “Nyebelin banget sih tuh Robi, selalu saja dia membela si Sari.”
Lia       : “Pasti dia suka sama si  Sari.”
            Dara : “Ah tidak mungkin, seleranya Robi itu bukan anak dekil kayak dia mana mungkin dia suka sama si Sari.”
            Puput : “Benar, aku juga kenal salah satu mantan dia, dan dia itu jauh lebih cantik dari Sari.” (meminum airnya) “Eh penonton jangan bilang-bilang ya, mantannya Robi itu aku. Sudah jelaskan aku lebih cantik dari pada si Sari itu.”
            Lia : “Mungkin Robi terkena peletnya Sari kali.”
            Dara : “Aduh Lia, sekarang itu tahun 2013, memangnya masih jaman ya pakai pelet begitu?.”
            Lia : “Sari kan datang dari negeri antah berantah mungkin saja kan dia pakai jalan pintas untuk memikat Robi, secara gitu Robi anak orang kaya.”
            Dara : “Sudah ah kenapa kita jadi membicarakan Sari sih? Eh Put aku lagi butuh baju baru nih, baju dirumahku sudah habis, kamu pasti punya butik langganan dong yang bagus.”
            Puput : “Oh pasti dong, nanti siang kita kesana saja yuk.”
            Begitulah obrolan mereka setiap hari. Mereka selalu membicarakan hal-hal yang berbau mewah, tak pernah sedikit pun mereka membicarakan pelajaran. Hingga nilai mereka menurun sangat derastis.
            Saat bel masuk berbunyi Sari dan Robi tengah membahas tentang liburan sekolah yang sudah didepan  mata.
Robi : “Sar, liburan kan sebentar lagi, kamu mau pergi kemana?.”
            Sari : “Ah liburan?.” (tertawa) “Aku mana  bisa liburan, aku harus kerja.”
            Robi : “Kamu tidak capek kerja terus?.”
            Sari : “Mau bagaimana lagi? Kalau aku tidak kerja aku tidak makan.”
            Robi : “Aku salut sama kamu Sar, kamu mau berkerja keras.”
            Sari : “Ah biasa saja Rob.”
            Dara, Lia, dan Puput masuk, diikuti dengan bu guru, dan pelajaran pun dimulai. Disaat pelajaran, mereka bertiga sama sekali tak memperhatikan penjelasan bu guru, mereka selalu bergurau.
            Puput : “Kalau aku kerjain si Sari pasti seru.” (tertawa)
Lia : “Kamu kenapa Put?.”
Puput : “Eh, aku punya ide untuk ngerjain Sari.”
            Dara : “Ngerjain bagaimana?.”
            Puput : “Ada deh pokoknya kalian lihat saja nanti pas istirahat.”
            Saat bel istirahat berbunyi mereka bertiga langsung keluar kelas. Sedangkan Sari dan Robi masih didalam kelas.
            Robi : “Ke kantin yuk!.”
            Sari : “Tidak deh, aku sedang tidak ada uang.”
            Robi : “Aku bayarin, udah pokoknya tidak boleh bilang tidak!.” (menarik tangan Sari)
            Sari : “Baiklah, baik.” (berjalan keluar)
            Puput : “Eh penonton! Jangan berisik ya, aku mau ngerjain itu anak.” (berjalan mengendap-endap dibelakang Sari, begitu sudah dekat dengan Sari, Puput mendorong Sari hingga terjatuh)
            Sari : “Aduh!.” (sambil memegang kakinya)
            Puput, Dara, dan Lia tertawa melihat Sari terjatuh.
            Robi : “Puput! Kamu sudah keterlaluan Put. Minta maaf sekarang!.” (membentak)
            Puput : “Haha minta maaf? Males! Pergi aja yuk.” (pergi meninggalkan Sari dan Robi)
            Robi : “Kamu baik-baik saja kan Sar?.”
            Sari : “Aku baik-baik saja Rob, tapi…. Aduh aduh kakiku sakit Rob.” (sambil memegang kakinya)
            Robi : “Kita harus melaporkan Puput ke guru!.”
            Sari : “Tidak perlu Rob, aku baik-baik saja kok.”
            Robi : “Tidak bisa, mereka sudah keterlaluan. Ayok!.” (memapah Sari menuju ruang guru)
            Robi dan Sari melaporkan perbuatan Puput. Guru yang mendengarkan aduan mereka, sangat terkejut dengan perbuatan Puput, dan menyuruh Robi untuk memanggil Puput.
            Di kantin.
            Dara : “Gila kamu Put! Kalau Sari kakinya patah bagaimana?.”
            Puput : (tertawa) “Biarkan saja, lagi pula siapa suruh dia bikin kesal aku.”
            Lia : “Tapi Dara benar juga Put, kalau misalkan kamu di skors bagaimana?.”
            Dara : “Aku tidak ikut-ikutan loh Put, aku tidak mau terkena hukuman lagi.”
Lia : “Aku juga tidak mau, bisa-bisa uang jajanku di tahan lagi.”
            Dara : “Bener! Aku kan ingin beli baju baru.”
            Puput : “Kalian tuh kenapa sih? Cemas banget. Tenang aja lagi, aku yang nanggung semuanya oke?.”
            Robi : “Puput, kamu di panggil bu Heni!.”
            Puput : (terkejut)
            Lia : “Nah loh Put, bagaimana tuh?.”
            Dara : “Put, bagaimana Put?.”
            Puput : “Sudah kalian tenang saja, semua pasti beres.” (bicara dengan ketiga sahabatnya) “Dimana?.”
            Robi : “Di ruang guru, cepat bu Heni sudah menunggu lama.” (berjalan meninggalkan Puput)
            Puput mendengarkan ceramah yang di berikan bu Heni padanya dengan tidak perduli. Namun ia tersentak ketika mendengar hukuman yang diberikan padanya. Puput berjalan lemas menuju teman-temannya.
            Dara : “Apa yang dikatakan bu Heni, Put?.”
            Lia : “Kamu dihukum apa?.”
            Dara : “Kamu enggak di keluarkan, kan Put?.”
            Puput : (menggeleng) “Lebih parah dari pada di keluarkan. Mulai hari ini aku harus membantu Sari berkerja sampai kakinya sembuh.”
            Lia : “Apa?.” (terkejut)
            Dara : “Sial banget kamu Put.”
            Puput : “Ya begitulah, dan kalian juga harus ikut.”
            Lia : “Kamu bercanda kan Put? Ga mungkin kami kena juga.”
            Puput : “Pokoknya kalian harus temani aku menjalani hukuman ini. Kalian kan teman aku.”
            Dara : “Baiklah, tapi setelah itu kamu harus mengajak kita jalan-jalan.”
            Lia : “Benar banget, kamu juga harus bayarin aku belanja.”
            Puput : “Terserah kalian.”
            Tak seperti biasanya Sari dan Robi pulang bersama Dara, Lia, dan Puput. Mereka semua pulang ke rumah Sari, di pinggiran kota. Jalanan sempit harus mereka lalui dengan berjalan kaki. Sepanjang perjalanan Dara, Lia dan Puput selalu mengeluh.
            Dara : “Rumah kamu dimana sih?.”
            Sari : “Itu sebentar lagi.”
            Puput : “Dari tadi sebentar lagi, sebentar lagi mulu. Kamu tahu ga sih aku capek nih.”
            Sari : “Ini rumahku.” (menunjuk sebuah rumah kecil)
            Puput : “Ini rumah atau kandang ayam, kecil banget?.”
            Robi : “Put, bisa ga sih omongan kamu itu dijaga?.”
            Sari : (tersenyum) “Biarpun rumah ini kecil tetapi aku merasa nyaman disini. Yasudah ayok silahkan masuk.”
            Lia : “Ih bau banget sih.” (menyemprot-nyemprotkan minyak wanginya)
            Puput : “Trus nanti kita ngapain nih?.”
            Sari : “Nanti kalian bantu aku jualan kue.” (menujuk nampan berisikan kue)
            Dara : “Kita jalan kaki?.” (tengok kanan-kiri)
            Robi : “Memangnya kalian pikir kita akan naik apa?.”
            Dara : “Jadi kita beneran jalan kaki?.”
            Lia : “Duh kakiku bisa lecet-lecet nih.”
            Robi : “Sudah jangan banyak ngeluh, lebih baik kita cepat-cepat jual itu kue sebelum malam.”
            Sari berjalan mendekati nampan berisi kue dan hendak mengambilnya namun Robi menghalanginya.
            Robi : “Sudah Sar biar Puput saja, hitung-hitung konsekuensi atas perbuatan yang dia lakukan sama kamu.”
            Sari : “Tapi Rob, Puput pasti belum terbiasa dengan ini, biar aku saja.”
            Robi : “Tidak, dia diminta untuk membantu kamu bukannya untuk menjadi pengawal pribadi kamu.” (mengambil nampan dan memberikannya kepada Puput)
            Puput : “Ini berat banget Rob, kamu tega aku bawa yang berat-berat begini? Nanti kalau tanganku lecet-lecet bagaimana?.”
            Robi : “Kalau saja kamu tidak membuat kaki Sari terkilir kamu pasti tidak akan melakukan ini.”
            Puput  : “Aku kan sudah bilang, aku tidak sengaja. Lagian dia juga salah, dia menghalangi jalan saja.”
            Sari : “Kalau kalian berdebat terus kapan kita jualannya? Ayok cepat kita berangkat.”
            Mereka mulai berjualan. Setapak demi setapak mereka lalui. Hingga sore hari, hanya dua orang saja yang baru membeli jualan mereka. Sari dengan sabar meladeni keluhan-keluhan yang di lontarkan Puput, Lia, dan Dara.
            Lia : “Sar kita istirahat dulu lah, capek nih dari tadi tidak berhenti-henti.”
            Sari : “Yasudah kita duduk saja dulu yuk.”
            Mereka duduk di bahu jalan, sembari memakan kue jualan mereka.
            Puput  : “Aku heran sama Sari, dia kok bisa ya menjalani hidup seperti ini? Andaikan saja aku yang menjadi seperti Sari, mungkin aku tidak akan kuat menjalaninya.”(bicara dalam hati)
            Dara : “Sar, kamu tidak capek apa setiap hari seperti ini? Kamu kan harus sekolah.”
            Sari : “Ya capek sih, tapi mau gimana lagi? Kan kalau tidak berjualan aku tidak punya uang, kalau tidak punya uang, aku tidak makan.” (tertawa)
            Lia : “Kamu tertawa seperti tidak memiliki beban hidup.”
            Sari : “Aku tidak merasakan beban sama sekali, malahan aku menikmatinya.”
            Robi : “Makannya kalian itu harus bersyukur mempunyai orang tua yang berada, bukannya sombong seperti ini.”
            Lia : “Aku salut sama kamu Sar, kamu mau hidup seperti ini.”
            Sari : (tersenyum)
            Puput : “Sar, aku minta maaf ya, aku sudah salah mendorong kamu, aku mengaku salah sekarang. ” (mengulurkan tangan)
            Sari : (menyambut tangan Puput) “Iya Put, sejak awal sudah aku maafkan kok.”
            Dara : “Kami juga minta maaf Sar, kami banyak salah sama kamu,  dan kamu Rob, kami sering buat kamu naik darah (tertawa kecil) kami minta maaf ya.” (mengulurkan tangan kearah Robi)
            Robi : (menyambutnya) “Itu semua aku anggap sebagai angin lalu saja, tak usah dipikirkan.”
            Lia : “Jadi mulai hari ini kita berdamai?.”
            Sari : “Berdamai selamanya.” (tertawa bersamaan)
            Akhirnya Puput, Dara, dan Lia mendapatkan pelajaran hidup yang berharga dari seorang Sari yang di anggap remeh oleh mereka. Maka kini mereka hidup rukun, dan menjadi teman selamanya.