Kuterjang
pintu kayu dihadapanku keras-keras, hingga menabrak tembok dibelakangnya. Bunyi
hantaman bergema keras, sedikit membuat telingaku sakit. Tetapi ku tak
memperdulikannya. Ku berlari dan menjatuhkan tubuhku diatas kasur putihku.
Tangisku pecah saat aku menenggelamkan kepala dibawah bantal Doraemon-ku. Lama
aku tenggelam dalam tangis, bantal ini sudah basah oleh air mata, hingga ku
tersadar siapa pemberi bantal ini. Kuangkat
badanku, dan terduduk menyilangkan kaki.
“Ugh….” Erangku, meremas keras bantal Doraemon-ku. Melampiaskan
semua amarah, dan kecewaanku. Hari ini adalah puncak dari kekesalanku terhadap
Adrian, mantan pacarku, yang baru saja memutuskanku kemarin. Kuangkat bantal itu melewati kepalaku, dan
kulempar ke arah tembok dihadapanku. Bantal itu mendarat tepat di kaus putih
yang kugantung, kaus itu bergoyang ke kanan dan ke kiri sementara bantal
Doraemon-ku jatuh keatas lantai. Aku bangkit, dan berjalan kearah dua benda
tersebut. Kupungut bantalku dan melemparnya sembarang.
Aku meraih kaus itu, dan menatap tulisan
ADRIYANTI diatas kaus putih itu. Ini memang kaus couple-ku dengan mantanku. Adrian
Nuryansyah, dia mantan pertamaku. Adrian adalah teman sekelasku, kami sudah
berteman sejak SMP namun baru Juli lalu ia menyatakan cintanya padaku. Dia
sangat baik padaku. Selama kami pacaran, dia tak pernah menyakitiku. Hobi dia,
memberi kejutan untukku. Mulai dari kejutan kecil, hingga kejutan yang besar.
Ada satu kejutan darinya yang belum aku lupakan sampai sekarang.
***
Kubuka mataku. Menatap langit-langit
kamar yang dihiasi dengan semburat cahaya pagi. Kulirik kalender yang berada
diseberang kasurku. Dan mataku menangkap lingkaran merah di angka dua dibulan
Agustus. Ini hari jadianku yang ke sebulan dengan Adrian. Tak terasa aku dan dia
sudah menjalani hubungan ini selama sebulan. Kira-kira dia ingat tidak ya hari
ini? Aku tersenyum sendiri membayangkan Adrian mengucapkan ‘Selamat hari jadi
yang ke sebulan’. Jika saja ibuku tidak berteriak menyuruhku bangun, mungkin
aku akan terus membayangkan hal itu terjadi. Kulangkahkan kaki keluar kamar.
Kulihat ibuku tengah berkutat dengan masakannya. Kusambar handuk dari atas
kursi. “Yanti sudah bangun, bu.” Kataku, sembari berjalan kearah kamar mandi.
Badanku sudah bugar kembali, ketika
keluar dari kamar mandi. Cepat-cepat aku berlari menuju kamarku. Kuambil
seragam yang menggantung didalam lemari lalu memakainya. Kusisir rambutku yang
berantakan, menambahkan bedak tipis ke wajahku, lalu menyemprotkan parfum.
Ponselku berdering ketika aku tengah mengambil tas. Kuambil dan melihat nama
Adrian tertera dilayar, kutekan tombol OK. “Halo.” Jawabku.
“Aku sudah didepan nih yang.” Balas
suara diseberang telpon.
Aku berjalan keluar kamar, “Oke,
tunggu ya yang sebentar lagi aku keluar.” Aku menekan tombol End. “Bu, Yanti
berangkat dulu ya.” Pamitku.
“Adrian sudah datang, ya?.” Tanya
ibuku. Dari dulu Adrian memang sering mengantar jemputku, jadi ibuku tak akan
heran jika pagi-pagi Adrian sudah berada didepan rumahku. “Suruh masuk dulu.”
Aku mengambil selembar roti, lalu
menggigitnya, “Enggak usah bu, udah telat nih.” Balasku. Aku menyalami tangan
ibu, lalu berlari menuju pintu keluar. Adrian sudah berada didepan rumahku,
duduk diatas motor hitamnya. Aku berjalan dengan riang, dalam pikiranku aku
menebak-nebak apakah Adrian akan mengingatnya atau tidak. Aku berhenti
dihadapannya, memasang senyum penuh harap.
“Ayo berangkat, nanti telat.” Ajak
Adrian. Aku memandangnya heran. Dia tidak ingat sekarang hari jadian yang ke
sebulan.
Aku berjalan dengan malas kebelakangnya,
dan duduk diatas jok penumpang, “Yang sekarang tanggal berapa?.” Tanyaku,
berusaha agar Adrian ingat hari ini.
Adrian diam sejenak, “Tanggal dua,
ada apa?.” Tanyanya polos. Adrian benar-benar lupa, hari spesial kami.
“Engga, ayo berangkat, nanti kita
terlambat.” Ucapku berusaha menutupi nada kesal namun tak berhasil. Adrian tak
memperdulikan nada kesalku, dia langsung melajukan motornya membelah jalanan
yang mulai ramai. Sepanjang perjalanan Adrian sama sekali tak menyadari momen
hari ini, walaupun sedari tadi aku terus menerus memancingnya. Hingga akhirnya
aku menyerah, dan menutup mulutku disisa perjalanan.
“Kamu kenapa yang, dari tadi kok
cemberut terus?.” Tanya Adrian, ketika kami sudah berada di parkiran sekolah.
Motor-motor sudah berjajar rapih, menyisakan jalan setapak untuk keluar dari
barisan.
Aku menunduk sebentar lalu
menggeleng pelan, “Engga ada apa-apa kok.” Jawabku.
“Bener? Aku membuat kesalahan ya?.”
“Tidak, kamu tidak salah.” Iya kamu
tidak salah, tapi aku yang salah. Aku yang terlalu berharap kamu ingat hari
ini.
“Yasudah, jangan cemberut terus,
nanti tambah jelek.” Adrian tertawa kecil dan aku membalasnya dengan senyum
simpul. Adrian berhenti tertawa dan menggandeng tanganku menuju kelas. Didalam
kelas, aku melihat Adara. Dia tengah asyik membaca novel yang baru saja ia
beli, sehingga tak menyadari aku sudah berada disampingnya. Oh iya, tadi Adrian
bilang, dia harus pergi ke kelas Radit ada sesuatu yang penting untuk
dibicarakan, entah apa itu yang penting. Adara tersentak terkejut, ketika melihat aku
disampingnya. Dia meletakan novelnya diatas meja, dan memutar tubuhnya melihat
aku.
“Hai Yan, kamu sudah datang.”
Sapanya. Aku tersenyum masam, “Kamu pagi-pagi sudah cemberut saja, ada apa?.”
Tanya Adara menyadari ada yang aneh dengan aku.
Aku menarik napas panjang, dan
menikmati udara yang mengisi paru-paruku, “Adrian, ra.” Ucapku dengan nada
kekanak-kanakan, “Adrian lupa, kalau
hari ini satu bulan jadian aku dengan dia.” Keluhku, “Padahal aku berharap,
momen seperti ini akan dia ingat. Walaupun tidak membuat perayaan yang besar,
setidaknya dengan dia mengingatnya aku akan sangat senang.” Adara mengangguk
pelan, dia sudah seperti psikolog yang sangat ahli dan terbiasa menghadapi
masalah remaja seperti ini.
“Kenapa tidak kamu katakan saja pada
Adrian?.”
Alisku bertautan, “Tidak mungkin aku
bilang langsung, bisa malu aku. Nanti dia pasti berfikir aku mengharapkan dia
mengingatnya, ya walaupun memang itu kenyataannya.” Adara membuka mulut untuk
membantah ucapanku, namun aku memotongnya, “Aku sudah memberikan kode-kodenya,
mulai dari menanyakan tanggal, hingga menanyakan hal-hal yang terjadi pada
bulan lalu. Tetapi tetap saja dia tak mengingatnya, mungkin dia terkena amnesia
akut.” Aku mencibir.
Adara tertawa melihat tingkahku,
“Caramu kuno Yan.” Ejeknya, “Sekarang ini sudah tidak jaman lagi memberi
kode-kode seperti itu, sekarang jamannya frontal. Katakan sejujurnya apa yang
mau kamu katakan.”
“Aku tidak bisa frontal ra, aku
terlalu malu untuk melakukan itu. Seharusnya Adrian yang mengatakannya”
“Atau bisa dibilang gengsimu tinggi
Yan.” Aku tak membantahnya, Adara memang benar, “Kamu harus menurunkan gengsimu
itu.”
“Bagaimana caranya?.” Tanyaku.
“Hanya kamu yang tahu caranya.”
Mulai deh, Adara menjadi Adara yang
misterius.
Adrian baru kembali ketika bel masuk
berbunyi. Dia sama sekali tak menyapaku.
Sikapnya menjadi dingin kepadaku, bahkan dia tidak menoleh sama sekali. Sepanjang
pelajaran yang kuperhatikan hanyalah punggung Adrian. Adrian hanya menengok ketika
Adara memanggilnya, itupun aku yang menyuruh Adara untuk memanggilnya. Usahaku
sedikit berhasil walaupun Adrian sama sekali tak menatapku.
Bel istirahat berbunyi. Semua orang
berbondong-bondong keluar ruangan. Semuanya kecuali aku dan Adara. Aku sengaja
menahan Adara agar tetap ditempatnya. Adara dengan pasrah mengabulkan
permintaanku, mengambil novelnya kemudian membacanya.
“Ra, Adrian kenapa ya? Kok dia jadi
diemin aku begitu?.” Adara hanya mengangkat bahu, “Ih Adara, ayo dong cari
tahu.” Paksaku.
Adara mengalihkan pandangannya dari
novel ke aku, “Kamu tanya sendiri saja ke orangnya.” Balas Adara.
Aku menatap Adara ragu, “Hmm, gitu
ya?.” Adara mengangguk mantap, “Jadi sekarang aku harus cari dia?.”
“Iya betul sekali!.” Jawab Adara
semangat, “Sudah sana cepat cari Adrian!.” Adara mendorong tubuhku pelan.
Aku berdiri masih menatap Adara,
“Kamu tidak mau ikut?.”
Adara menatapku geram, “Ini kan
masalahmu, jadi kamu yang harus menyelesaikannya.” Aku bergeming ditempatku,
“Sudah sana! Aku masih mau membaca novelku.”
Setelah Adara mengusirku dari kelas,
aku langsung mencari Adrian. Aku sudah mencarinya kemana-mana namun mulai dari
lapangan basket, kantin, perpustakaan, hingga kelas Radit tetapi aku tak
melihat Adrian. Kemana ya dia? Kukirim pesan kepadanya, dan memutuskan untuk
menunggu balasannya.
Tiga menit kemudian Adrian membalas
pesanku. Dia bilang, dia berada di kelas Hilmi, temannya yang lain. Aku
memutuskan untuk menyusulnya. Memanjat tangga munuju lantai dua. Aku berbelok
ke kanan dan meraih kelas pertama yang dekat dengan tangga.
Ternyata benar Adrian memang ada
disana, duduk disebelah Hilmi. Dia sedang mengobrol dengan teman-temannya. Aku
berjalan cepat-cepat kearahnya. Dan meraih tangannya, mengajak dia keluar dari
kelas.
“Ada apa?.” Tanya Adrian, aku hanya
memberikan kode untuk keluar. “Aku keluar dulu ya.” Ucap Adrian. Aku menarik
Adrian hingga keluar dan menjauh dari kelas Hilmi. “Ada apa yang?.” Ulang
Adrian.
Aku terdiam sejenak, “Kamu kenapa
yang?.” Tanyaku. Kening Adrian berkerut, “Dari tadi pagi kamu enggak bicara
sama aku.”
Senyum Adrian mengembang, kedua
tangannya meraih tanganku, “Maaf ya sayang, tadi pagi itu aku lagi ada
masalah.” Akunya.
Aku menatap matanya, “Masalah apa
yang? Kenapa kamu enggak cerita sama aku?.” Tanyaku khawatir.
Adrian tertawa kecil, “Sudahlah
yang, masalahnya juga sudah selesai.” Aku menatapnya tak percaya, “Beneran deh
aku enggak bohong. Omong-omong nanti siang kamu ada acara gak?.”
“Enggak ada, emangnya ada apa?.”
“Nanti siang aku mau ngajak kamu pergi.”
“Pergi kemana yang?.”
“Ada deh, kejutan, nanti juga kamu
tahu.” Sejak kapan Adrian seperti Adara yang suka berubah menjadi misterius
begini?. “Sekarang kita masuk kelas yuk, sebelum bel berbunyi.” Adrian
menggandeng tanganku.
“Kamu kok jadi seperti Adara sih.”
Protesku. Adrian hanya tertawa melihatku.
Aku sudah tidak sabar menunggu
kejutan dari Adrian. Sampai-sampai aku tak bisa fokus memperhatikan penjelasan
bu Indri. Berkali-kali aku melirik jam tanganku, hingga ahirnya bel yang aku
tunggu pun berbunyi. Kumasukan buku-buku yang berserakan diatas meja, karena
semangatnya hingga aku tak mendengarkan ucapan bu Indri. Begitu mendongak,
sosok bu Indri sudah menghilang, dan digantikan oleh sosok Adrian.
“Ayo,
nanti kita kemalaman.” Ajak Adrian. Kami berjalan keluar menuju tempat parkir.
Seberapa kerasnya aku mencoba agar Adrian memberitahu kemana kami akan pergi,
namun usahaku sia-sia saja.
Jalan yang kami lewati sama sekali
tidak femiliar dimataku. Motor Adrian masuk ke gang sempit yang sepi. Rumah-rumah
semakin jarang, pepohonan semakin rapat membuat udara semakin sejuk. Seiring
kami memasuki jalan ini lebih dalam, peganggangan tanganku di pinggang Adrian
semakin kencang. Adrian hanya terkikik melihat ketakutanku. Kami berhenti
didepan jalan setapak. Aku dan Adrian turun dari atas motor. “Tempat apa ini yang?.” Tanyaku. Mengedarkan
pandangan keseluruh pohon disekitarku.
“Bukan tempat ini yang ingin ku
perlihatkan.” Adrian berjalan mengitari tubuhku, sekarang dia sudah berdiri
tepat dibelakangku, “Kamu harus menutup matamu.” Adrian menutup kedua mataku
dengan telapak tangannya, “Kamu tenang saja, kamu akan baik-baik saja.”
Bisiknya, aku tak bisa membantah, tak ada waktu untuk tidak mempercayainya.
Jalanan semakin jauh semakin
berbatu. Berkali-kali kakiku tersandung kerikil, dan berkali-kali pula Adrian
harus menyangga badanku. Kurasa sudah sangat jauh dari awal jalan setapak tadi.
Adrian menyuruhku berhenti, dan menghitung sampai tiga baru aku diperbolehkan
membuka mata. Satu, dua, tiga, aku membuka mata. Sebuah danau yang indah,
terpampang dihadapanku. Samar-samar aku melihat seorang wanita tengah bernyanyi
diiringi oleh seorang laki-laki dengan gitarnya. Begitu mataku bisa beradaptasi
aku mengenali mereka, mereka adalah Adara dan Radit. “Happy anniversary.” Ucap Adrian. Aku tak
mampu mengucapkan sepatah katapun, ini kejutan terindah yang pernah kudapat,
“Maaf aku sudah membuatmu kesal, tetapi semua itu kulakukan untuk ini.” Sambung
Adrian sembari memelukku.
***
Itu adalah kenangan terindah sekaligus
menyakitkan bagiku. Adrian yang sangat kusayangi, kini tak dapat lagi kumiliki.
Dia memutuskanku tepat dua hari sebelum hari jadi kami yang ke dua bulan,
dengan alasan dia ingin fokus untuk sekolah. Dan yang membuat hatiku hancur,
tadi siang aku melihatnya dengan seorang perempuan, yang aku dengar dia adalah
pacarnya yang baru. Aku menatap kaus ditanganku, merenggut bantal Doraemon yang
tergeletak dilantai, lalu membuangnya ke tempat sampah. Tak ada gunanya lagi
untuk menyimpan semua kenangan ini. Kini semuanya tinggal kenangan.