Sabtu, 27 Oktober 2012

RENEE "THE TRUTH". pat III

haiiiiii....
aku balik lagi setelah UTS yang melelahkan. ga perlu tau deh hasilnya gimana, aku males ngebahasnya juga hahahaha
eh iya sebenernya aku mau bikin cerpen tentang Harry Potter gitu, gara-gara si Arin, ceritanya sih udah kebayang. tapi lagi males ngetiknya. ini aja project aku belum selsai-selsai, kapan ya selsai?? -,- doain aja ya semoga cepet selsai.. oke curhatnya segitu dulu.. sekarang aku mau post lanjutan fanfict Twiga yang kemarin. enjoy it :)



Aku duduk terdiam diteras rumah, memandang kehalaman –sekarang bunga-bunga sudah bermekaran dengan indah. Kalau dipikir-pikir lagi, nama Renata memang banyak, tapi untuk Evelyn kenapa aku merasa aneh, ada sesuatu hal yang mengganjal dihatiku, sesuatu yang bahkan aku tak tahu apa itu.
“Kau sedang memikirkan apa?.” Tanya William tiba-tiba.
Aku melihatnya ragu, “Kau tahu, nama kecilku dulu ada Renata.” Kataku.
“Lalu apa yang membuatmu bingung?.” William duduk disebelahku.
“Entah, akupun tak tahu. Tapi sepertinya ada sesuatu yang harus aku ketahui.” Kataku berdiri.
“Mau kemana kau?.” Tanya William.
“Kerumah Evelyn.” Sahutku.
“Aku ikut.”
“Baiklah.” Kataku.
Kami berjalan menuju rumah diujung jalan –aku mempercepat jalanku dari pada biasanya. Kami sudah sampai didepan rumah tersebut, William memencet bel, tetapi aku hanya bisa menunggu dengan tidak sabar.
Seorang wanita membukakan pintu, “Hai kalian William dan Renee, kan?.” Tanya Mala.
“Ya Mrs. Lestrenge.” Jawab William.
“Ada perlu apa ya?.”
“Aku ingin bertemu Evelyn.” Kataku.
“Baiklah akanku panggilkan dia.” Mala masuk kedalam rumah, sedangkan kami duduk didepan teras.
Tak berapa lama kemudian Evelyn muncul, “Hai Renee.” Sapanya, “Dan kau pasti William.” William tersenyum.
“Evelyn, kau bilang namamu tengahmu adalah Renata, yakan?.” Tanyaku.
“Yeah, semua keluargaku menggunakan nama itu.” Katanya menjelaskan.
Sepertinya itu bukan hanya kebetulan –tidak mungkin jika dalam satu keluarga menggunakan nama yang sama, dan hatiku berkata ada sesuatu yang aneh.
“Semua keluargamu menggunakan nama itu?.” Evelyn mengangguk heran.
“Ya, memangnya kenapa?.”
“Tidak apa-apa, aku hanya heran kenapa keluargamu bisa menggunakan nama itu?.” Tanyaku, berusaha terlihat tenang.
“Hmm mungkin ibuku bisa menjelaskannya.” Katanya, “Sebentar akan aku panggilkan dulu.” Evelyn masuk kedalam rumah.
Kenapa dengan nama itu?.” Tanya William.
Aku hanya heran saja, kenapa mereka menggunakan nama itu.” Jawabku.
Tapi didunia ini ada sekitar satu juta lebih yang menggunakan nama itu.”
Entahlah Will, aku hanya merasakan sesuatu saja.”
Evelyn dan ibunya datang dengan membawa sebuah album foto, “Kalian ingin tahu mengapa kami menggunakan nama ‘Renata’?.” Aku mengangguk semangat. “Namaku Mala Renata Stimpson, dan nama nenekku Jasmie Renata Stimpson, aku sempat bertanya kepada nenekku, mengapa kami –para perempuan, menggunakan nama ‘Renata’.” Mala mulai bercerita.
Mala membuka album yang dibawanya, “Dia nenekku.” Katanya menunjuk seorang wanita difoto tersebut, “Katanya nama ‘Renata’ tersebut adalah permintaan langsung dari kakek buyutku. Menurut nenekku Renata adalah gadis yang disayangi kakekku.” Mala menunjuk seorang laki-laki, yang mukanya seperti aku kenal.
Romi.” Kataku, kurasa William hanya melihatnya sekilas.
“Walaupun dia sudah menikahi Jane, tapi hatinya masih tetap untuk gadis itu.” Jane? Dia teman kerjaku, tapi dia tak pernah cerita bahwa dirinya menyukai Romi.
“Lalu apa yang terjadi pada kakek buyutmu?.” Tanya William.
“Pernikahan mereka tidak bertahan lama, setelah lima tahun menjalani pernikahan Jane meninggalkan kakekku –hanya meninggalkan Key. Dan pada saat krisis moneter melanda dia sering sakit-sakitan dan akhirnya wafat.”  Rasanya aku ingin menangis.
Apa kau menyesal mendengar  cerita ini?.” Tanya William.
Aku tak pernah menyesali apa yang menimpaku.” Sahutku.
“Jadi begitulah ceritanya.” Mata Mala sudah memerah, “Kalau boleh aku tahu, kenapa kau menanyakan ini?.” Tanya Mala.
“Aku hanya penasaran saja.” Jawabku asal.
“Yasudahlah kami harus segera pulang.” Kata William. Kami pun berpamitan, dan berjalan pulang.
Dari kepulangan kami tadi sore, aku dan William hanya berdiam diri –tak saling sapa. Mungkin dia marah karena aku masih mengingat Romi.
“William.” Panggilku, William hanya menengok, “Hmm aku minta maaf ya.” Kataku.
“Minta maaf untuk pa?.” Tanyanya.
“Aku sudah mengingat-ingat Romi lagi.” Kataku menyesal.
“Sudahlah, lagi pula kita tidak bisa menghilangkan kenangan kita, yakan?.” William Masih sibuk membaca bukunya.
Aku mendekatinya, dan mengambil bukunya, “Kau memaafkanku?.” Tanyaku –memasang muka memelas.
“Aku selalu memaafkanmu.” Kini William sudah berdiri dihadapanku. “Aku hanya tidak mau kau meninggalkanku.” Ucapnya, memelukku.
Aku membalas pelukkannya, “Aku takakan pernah meninggalkanmu.” Toh memang hanya ada dia dihidupku sekarang.

Sabtu, 20 Oktober 2012

RENEE "NEW SCHOOL....NEW FRIEND". part II

hai hai haiiiiiiii..............
aku kembali lagi, mau bawa cerita lanjutan yang waktu itu..
enjoy it guys :)


Dan hari ini aku kembali lagi ke Venezuela, untuk yang kesekian kalinya –setelah perbuhanku tentunya. William membelokkan setir, menuju sebuah jalan yang cukup terpencil –hanya ada tiga rumah disini. Salah satunya –yang paling besar, terletak dipinggir sebelah kanan jalan, bersebelahan dengan sebuah rumah bercat putih. William memberhentikan mobil diujung gang –disini terdapat sebuah rumah yang semua interiornya terbuat dari kayu.
“Home sweet home.” Ucap William, ketika kami berdiri didepan rumah tersebut –William merangkul pingganku.
Rumah ini sangat sederhana –hanya ada dua lantai, William menjelaskan padaku dia tidak ingin membeli rumah yang begitu mewah karena dia tidak ingin menarik perhatian orang banyak, sedangkan dia tidak ingin hidup didalam hutan yang jauh dari kehidupan social –kami sudah terbiasa hidup berdampingan dengan manusia, lagipula kami tidak meminum darah manusia, kami hanya meminum darah binatang dan aku menyebutnya vampire vegetarian.
Kamarku terletak dilantai dua, bersebelahan dengan kamar William –sebenarnya kami tidak membutuhkan kamar karena kami tidak tidur sama sekali! Kamarku tidak terlalu luas hanya berisikan sebuah sofa, sebuah lemari pakaian dan sebuah lemari buku disebrang sofa. Aku menaruh baju-bajuku dan menata beberapa buku dirak.
Aku turun kebelakang rumahku. Taman belakang rumah ini sangat mengenaskan, beberapa bungga sudah layu bahkan ada yang sudah mati. Aku mendekati salah satu dari bunga tersebut yang hamper mati –memegang dan menatapnya. Beberapa saat kemudian bunga tersebut kembali tumbuh dengan indahnya –itulah salah satu kelebihanku.
“Bunga itu tak seindah dirimu.” Ucap William –memelukku dari belakang.
“Ah kau ini.” Kataku malu-malu.
Tiba-tiba saja William melepaskan pelukkannya -tatapannya memendang jauh kedepan, tubuhnya mengejang.
“Kau lihat apa?.” Tanyaku –kelebihan William adalah melihat masa depan.
“Sepasang kekasih, berjalan kearah kita.” Jawabnya –masih memandang kejalan. Aku mengikuti arah pandangnya, benar sepasang kekasih sedang berjalan kearah kami.
William sudah berhenti mengejang, aku hanya bisa berdiri menatap mereka. Sekelebat kata-kata melewati pikiranku. Nick dan Mala Lestrenge tinggal disebuah rumah diujung jalan ucapku kepada William melalui pikiran –kami saling terkoneksi.
Mereka berdiri dihadapan kami, tersenyum ramah. “Hai tetangga, perkenalkan saya Mala dan ini suami saya Nick.” Ucapnya memperkenalkan diri, mereka belum terlalu muda mungkin sekitar tiga puluh tahun.
Aku tersenyum, “Saya William dan ini Renee.” Aku tersenyum.
“Kalian….” Mala tidak melanjutkan kata-katanya melainkan menatap kami dengan tatapan curiga.
“Dia kakakku.” Kataku ramah. Hahaha kakak?? Ucap William tertawa.
“Lalu kau akan berkerja dimana?.” Tanya Nick kepada William.
“Saya berkerja dirumah sakit sebagai dokter.” Balas William –karena pekerjaan itulah William bisa bertahan dengan bau darah manusia.
“Dan bagaimana denganmu?.” Tanya Mala
“Aku akan bersekolah di SMA.” Jawabku –untuk yang kesekian kalinya.
“Mungkin kau akan satu sekolah dengan anakku.” Katanya semangat.
“Aku berharap begitu.” Ya setidaknya aku berusaha baik.
Bulan begitu cepat berganti dengan matahari –walaupun sinarnya masih redup karena tertutup awan mendung, aku sudah bersiap pergi kesekolah –memakai kaos coklat panjang dengan sweater putih dan celana jeans coklat dan sepatu cats faforitku, sedang kan rambutku kubiarkan saja tergerai indah dan mukaku kubiarkan polos –toh aku memang tak memperlukan make-up yang tebal. William sudah menungguku didalam mobil –seperti biasa dia sudah menggunakan seragam dokternya, aku masuk dan duduk disebelahnya.
“Siap untuk sekolah baru?.” Tanya William.
“Aku selalu siap.” Jawabku singkat.
William menjalankan mobilnya –jalanan masih sangat sepi. Rintik-rintik hujan sudah mulai turun, ketika kami sudah sampai didepan gerbang sekolah. William menatapku –dia merogoh sakunya, tanganya mendekati rambutku, kemudian memasangkan sebuah jepit rambut yang indah –tiga buah manic-manik Kristal menghiasi japit rambut tersebut, dia mengecup keningku, aku hanya bisa tersenyum.
Aku memparhatikan William menghilang dalam keramaian –sudah mulai ramai disini. Seklebat kata-kata bermunculan dipikiranku –risih juga jika kita tau siapa yang ada dihadapan kita. Seorang wanita berjalan kearahku dan nama.a muncul dipikiranku. Evelyn renata lestrenge putrid dari Nick dan Mala lestrenge.
“Hai, kau pasti Renee.” Sapanya, aku tersenyum. “Perkenalkan aku Evelyn.” Katanya, menjulurkan tangan.
Aku menyambut tangan Evelyn, “Hai Evelyn.” Balasku.
“Kemarin ibuku bilang, kau adalah tetangga baru dankau satu sekolah denganku.” Kesan pertama yang kudapat darinya adalah dia seperti ibunya –periang dan cepat membaur.
“Ya, dia juga sudah bilang padaku.” Kataku.
“Apa kelas pertamamu?.” Tanyanya penuh harap bahwa dia akan satu kelas denganku.
“Hmm.” Aku membuka secarik kertas yang kutaruh disaku celana, “Biologi.” Kataku setelah selesai membaca.
Muka evelyn tampak senang, “Kita sekelas!.” Pekiknya senang, “Ayo kita kekelas sebelum bel masuk!.” Dia menarik tanganku.
Bosan juga harus mengulang pelajaran yang sudah kita pelajari berkal-kali. Metaphase seumur hidupku menjadi vampire aku sudah mempelajarinya. Aku benar-benar tak memperhatikan ketika Mr. Wilson menerangkan.
Sayang, perhatikan pelajaranmu!.” Ucap William jahil –lewat pikiranku tentunya.
Aku bosan, berkali-kali aku sudah mempelajari ini.” Keluhku –begitulah kegiatanku kalau sudah bosan.
Hahahaha, makanya kau cepatlah dewasa.” Katanya.
Kau bercada! Sudahlah urus saja pasien-pasienmu!.” Ucapku sedikit marah. William tertawa, tapi kemudian dia diam saja, “Ada apa?.” Tanyaku khawatir.
Apa yang dimaksud dengan metaphase?.” Jawabnya.
Tiba-tiba, sekelebat bayangan muncul dipikiranku “Mr. Wilson!.” Pekikku –guru biologiku, umurnya empat puluh tahun tapi muka.a masih terlalu muda, badannya tinggi dan tegap.
“Mrs. Smith, apa kau memperhatikanku?.” Tanyanya, mungkin karena sedari tadi aku hanya memandang aliran air dijendela.
“Ya sir.” Jawabku meyakinkan.
“Kalau begitu apa yang dimaksud dengan metaphase?.” Tanyanya.
“metaphase adalah tahap mitosis eukariotik siklus sel di mana kental & sangat melingkar kromosom , membawa informasi genetic.” Aku menjawab –William sedari tadi memberika jawabannya, tapi aku tidak mendengarkan William –aku sudah terlalu hapal.
“Bagus!.” Pujinya, “Tapi jangan terlalu banyak melamun!.” Mr. Wilson berjalan kearah papan tulis, mulai menerangkan –dan aku mulai dengan kegiatanku mengobrol dengan William.
Bel istirahat berbunyi, diluar sudah sangat ramai. Semuanya berduyun-duyun pergi kekantin –tidak untukku aku tidak berminat pergi kesana karena aku memang tidak akan makan.
“Renee kekantin yuk!.” Ajak Evelyn.
“Ok.” Kataku sedikit malas.
Kantin sudah sangat ramai, evelyn mengambil makanannya –tapi aku duduk dipojok kantin. Memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang melewatiku, tanpa aku tanya nama mereka aku sudah tahu siapa mereka dan dimana mereka tinggal mereka.
“Kau tidak makan?.” Tanya Evelyn.
“Aku tidak terbiasa makan makanan luar rumah.” Aku menjawab –selalu itu alasanku jika diajak makan.
Evelyn menatap bukuku, “Renata?.” Aku menatapnya –Renata adalah nama kecilku, “Kau tahu namaku juga Renata, Evelyn renata lestrenge.” Katanya semangat.
“Waw kebetulan yang sangat mengejutkan.” Kataku berusaha terkejut.
Hari berjalan begitu cepat, bel pulang terdengar dipenjuru sekolah. Aku dan Evelyn berjalan keluar, masih membicarakan tentang tugas drama kami –sebelum pulang Mr. Brown memberikan kami tugas drama. Sebuah Porsche silver bertengger didekat gerbang, itu William dia menjemputku? Padahal dia bilang dia sibuk.
Kau bilang kau sibuk sehingga tidak bisa menjemputku.” Kataku protes.
Maaf aku hanya ingin memberi kejutan.” Jawabnya, “Sudah, ayo cepat pulang!.” Perintahnya.
“Evelyn maaf aku tidak bisa pulang denganmu, kakakku sudah menjeput.” Kataku.
“Oh ok takapa.” Katanya.
Aku berjalan mendekati mobil, membuka pintu dan duduk disampingnya. Dia terseyum melihatku, aku tak bisa berbuat apapun selain ikut tersenyum juga.

Selasa, 09 Oktober 2012

PROLOG "MEMORY" capt I

Hi guys, aku kembali... pasti udah pada bosen kan sama curhatanku yang rada ga penting gimanaaaa gitu. nah kali ini aku bawa sesuatu yang beda. fanfication twilight saga. yup bener banget, ini cerita tentang Twilight Saga tapi versi aku. emang ga begitu menjurus ke Twilight sih, tapi nanti pasti kalian bakal nemuin keluarga Cullen, Black, dll. so, dari pada penasaran dibaca aja ya :)

“Aku tidak pernah memilih untuk menajalani hidup seperti ini, tapi takdir berkata lain aku harus menjalani hidup sebagai monster!”
 
Untuk ketiga puluh kalinya aku berpindah tempat-setiap lima tahun sekali aku dan William selalu pindah. Rumah baru, lingkungan baru, dan sekolah baru ya begitulah seterusnya. Itu semua kami lakukan demi menjaga identitas kami sebagai vampire! Tahun 1861 hidupku berubah, Williamlah yang merubahku dan kini menjadi kekasih abadiku.
Aku masih ingat bagaimana kehidupanku semasa aku masih menjadi manusia sampai pada akhirnya aku bertemu William.  Aku tinggal disebuah desa di Venezuela, kehidupanku dulu sangat mengenaskan. Aku hidup dalam keluarga yang sangat kekurangan, sedangkan aku memiliki banyak adik tetapi orang tuaku seakan tak peduli dengan anak-anaknya–mereka hanya memikirkan diri mereka sendiri, sehingga aku harus berkerja demi menghidupi adik-adikku.
Aku berkerja disebuah cafĂ©, aku diperlakukan sangat baik oleh bos disini–Romi, menurut temanku dia memperlakukanku begitu karena dia menyukaiku, dan juga fisikku yang memang cantik-diantara keluargaku memang akulah yang paling cantik, rambut kecoklatanku selalu kuikat, dan kulitku putih mulus.
Pada suatu malam aku berjalan pulang sendirian –jalanan sudah sangat sepi bahkan bebrapa lampu jalan sudah padam. Sebuah mobil berwarna hitam berhenti disebelahku, ternyata itu bosku, dia menawariku tumpangan, awalnya aku menolak tapi lama kelamaan aku menerimanya. Aku duduk disebelahnya, aku tidak bisa berbuat apa-apa -aku hanya duduk terdiam, karena diam-diam akupun menyukainya. Wajahnya begitu rupawan, dan tatapannya yang tajam seperti elang.
Berkali-kali aku mencuri pandang melalui ujung mataku, dan aku merasa dia tersenyum. Begitu sampai didepan rumahku, aku tidak langsung turun  bosku menyuruhku tetap didalam.
“Renee.” Dia menatapku, jantungku berdetak kencang. “Sudah lama aku ingin menanyatakan perasaanku, maukah kau menjadi kekasihku?.” Ucapnya.
“Tapi aku hanya seorang pelayan yang miskin.” Kataku
“Aku tidak mempermasalahkan status sosialmu.” Ucapnya ramah.
“Hmm aku mau.” Ucapku, Romi memelukku erat, dan mengecup keningku.
Aku keluar dari mobil, “Mimpi indah ya.” Ucapnya. Aku memperhatikan mobil Romi menghilang dalam kegelapan, hatiku begitu merasa bahagia bahkan aku masih tersenyum-senyum sendiri, ketika masuk kekamarku.
Sinar matahari menerobos masuk kamarku, aku mengucek mataku, mencoba memastikan kejadian tadi malam bukanlah mimpi. Hari ini hari sabtu dan untung saja hari ini aku mendapat shift malam, jadi aku bisa lebih sedikit bersantai. Adik-adikku sudah berangkat sekolah dan orang tuaku tidak pulang sejak semalam –itu sudah biasa. Aku mendengar suara ketukkan pintu, aku mendekatinya dengan malas.
“Hai!.” Sapa Romi. Betapa kagetnya aku, bahwa yang dihadapanku adalah Romi.
“Bos!.” Pekikku kaget, aku merasa mukaku memerah.
“Jangan panggil aku bos! Aku kan pacarmu sekarang.” Ucap Romi.
Romi melihat penampilanku dari atas kebawah –aku hanya menggunakan kaos putih kumal dengan celana coklat pendek yang kebesaran, sedangkan rambutku kuikat sembarang, aku hanya bisa berdiri membatu. Aku merasa mukaku panas karena malu.
Romi tersenyum, “Kau cantik sekali!.” Pujinya, aku merasa aku salah dengar.
“Trims.” Ucapku singkat, berusaha menutupi rasa maluku.
Romi masuk kedalam rumahku, melihat-lihat seisi rumahku dan kemudian duduk –aku hanya terpaku didepan pintu.
“Kau tidak capek berdiri terus?.” Tanyanya. Aku mendekatinya, dan duduk disampingnya. Kami mengobrol dan bercanda sepanjang hari –hanya ada kami berdua.
Singkatnya, hubungan kami sudah sangat dekat hingga pada akhirnya Romi melamarku. Dan tragedy itupun dimulai pada saat sehari sebelum pernikahanku, aku bertemu dengan manatan pacarku didekat rumahku, dia mengajakku mengobrol.
“Jadi kau pria itu adalah pria beruntung.” Ucap Peter jahil.
“Yeah, dia sangat beruntung.” Balasku, “Mungkin kau bisa seberuntung dia jika kau tidak memutuskanku.” Kataku, tertawa.
“Haahahaha ya mungkin.” Peter melihat jam tanganya, “Hmm aku harus segera pergi.” Katanya, “Sampai ketemu lagi.” Dia memelukku.
“Sampai ketemu besok.” Balasku. Peter hilang ditelan kegelapan.
Aku melihat sebuah bayangan berjalan kearahku, ternyata dia Romi, tetapi mukanya terlihat marah. Dia menyambar tanganku, dan menarikku kedekat pohon.
“Siapa dia?!.” Bentak Romi.
“Dia Peter, kau kenal dia kan?.” Ucapku.
“Kenapa kau memeluk dia dengan mesra?.” Nadanya naik satu oktaf.
“Aku dan dia sudah tidak apa-apa lagi, dia hanya sahabatku.” Kataku.
“Bohong!.” Bentaknya.
“Aku tidak pernah berbohong.” Aku memegang tangannya.
“Lepaskan! Mulai hari ini aku tidak ingin mengenal dirimu lagi!.” Romi mendorong tubuhku –dengan keras, sehingga menabrak sebuah pohon.
Aku merasakan pusing, dan sesuatu mengalir dikepalaku darah batinku, dan aku tidak ingat apa-apa lagi. Begitu aku tersadar aku merasakan panas menjalar diseluruh badanku, aku seperti terbakar api neraka mungkin aku sudah mati pikirku. Tetapi begitu rasa sakit itu menghilang aku melihat seorang malaikat berdiri disampingku, dia menceritakan bahwa dia menemukan tubuhku mengambang dilaut dengan luka-luka yang sudah begitu parah, dan kemudian dia merubahku menjadi vampire. Begitulah ceritaku menjadi vampire, awalnya aku tidak menerima keadaanku, tapi pada akhirnya aku menikmatinya.