aku balik lagi setelah UTS yang melelahkan. ga perlu tau deh hasilnya gimana, aku males ngebahasnya juga hahahaha
eh iya sebenernya aku mau bikin cerpen tentang Harry Potter gitu, gara-gara si Arin, ceritanya sih udah kebayang. tapi lagi males ngetiknya. ini aja project aku belum selsai-selsai, kapan ya selsai?? -,- doain aja ya semoga cepet selsai.. oke curhatnya segitu dulu.. sekarang aku mau post lanjutan fanfict Twiga yang kemarin. enjoy it :)
Aku
duduk terdiam diteras rumah, memandang kehalaman –sekarang bunga-bunga sudah
bermekaran dengan indah. Kalau dipikir-pikir lagi, nama Renata memang banyak,
tapi untuk Evelyn kenapa aku merasa aneh, ada sesuatu hal yang mengganjal
dihatiku, sesuatu yang bahkan aku tak tahu apa itu.
“Kau
sedang memikirkan apa?.” Tanya William tiba-tiba.
Aku
melihatnya ragu, “Kau tahu, nama kecilku dulu ada Renata.” Kataku.
“Lalu
apa yang membuatmu bingung?.” William duduk disebelahku.
“Entah,
akupun tak tahu. Tapi sepertinya ada sesuatu yang harus aku ketahui.” Kataku
berdiri.
“Mau
kemana kau?.” Tanya William.
“Kerumah
Evelyn.” Sahutku.
“Aku
ikut.”
“Baiklah.”
Kataku.
Kami
berjalan menuju rumah diujung jalan –aku mempercepat jalanku dari pada
biasanya. Kami sudah sampai didepan rumah tersebut, William memencet bel,
tetapi aku hanya bisa menunggu dengan tidak sabar.
Seorang
wanita membukakan pintu, “Hai kalian William dan Renee, kan?.” Tanya Mala.
“Ya
Mrs. Lestrenge.” Jawab William.
“Ada
perlu apa ya?.”
“Aku
ingin bertemu Evelyn.” Kataku.
“Baiklah
akanku panggilkan dia.” Mala masuk kedalam rumah, sedangkan kami duduk didepan
teras.
Tak
berapa lama kemudian Evelyn muncul, “Hai Renee.” Sapanya, “Dan kau pasti
William.” William tersenyum.
“Evelyn,
kau bilang namamu tengahmu adalah Renata, yakan?.” Tanyaku.
“Yeah,
semua keluargaku menggunakan nama itu.” Katanya menjelaskan.
Sepertinya
itu bukan hanya kebetulan –tidak mungkin jika dalam satu keluarga menggunakan
nama yang sama, dan hatiku berkata ada sesuatu yang aneh.
“Semua
keluargamu menggunakan nama itu?.” Evelyn mengangguk heran.
“Ya,
memangnya kenapa?.”
“Tidak
apa-apa, aku hanya heran kenapa keluargamu bisa menggunakan nama itu?.”
Tanyaku, berusaha terlihat tenang.
“Hmm
mungkin ibuku bisa menjelaskannya.” Katanya, “Sebentar akan aku panggilkan
dulu.” Evelyn masuk kedalam rumah.
“Kenapa dengan nama itu?.” Tanya William.
“Aku hanya heran saja, kenapa mereka
menggunakan nama itu.” Jawabku.
“Tapi didunia ini ada sekitar satu juta lebih
yang menggunakan nama itu.”
“Entahlah Will, aku hanya merasakan sesuatu
saja.”
Evelyn
dan ibunya datang dengan membawa sebuah album foto, “Kalian ingin tahu mengapa
kami menggunakan nama ‘Renata’?.” Aku mengangguk semangat. “Namaku Mala Renata
Stimpson, dan nama nenekku Jasmie Renata Stimpson, aku sempat bertanya kepada
nenekku, mengapa kami –para perempuan, menggunakan nama ‘Renata’.” Mala mulai
bercerita.
Mala
membuka album yang dibawanya, “Dia nenekku.” Katanya menunjuk seorang wanita
difoto tersebut, “Katanya nama ‘Renata’ tersebut adalah permintaan langsung
dari kakek buyutku. Menurut nenekku Renata adalah gadis yang disayangi
kakekku.” Mala menunjuk seorang laki-laki, yang mukanya seperti aku kenal.
“Romi.” Kataku, kurasa William hanya
melihatnya sekilas.
“Walaupun
dia sudah menikahi Jane, tapi hatinya masih tetap untuk gadis itu.” Jane? Dia
teman kerjaku, tapi dia tak pernah cerita bahwa dirinya menyukai Romi.
“Lalu
apa yang terjadi pada kakek buyutmu?.” Tanya William.
“Pernikahan
mereka tidak bertahan lama, setelah lima tahun menjalani pernikahan Jane
meninggalkan kakekku –hanya meninggalkan Key. Dan pada saat krisis moneter
melanda dia sering sakit-sakitan dan akhirnya wafat.” Rasanya aku ingin menangis.
“Apa kau menyesal mendengar cerita ini?.” Tanya William.
“Aku tak pernah menyesali apa yang menimpaku.”
Sahutku.
“Jadi
begitulah ceritanya.” Mata Mala sudah memerah, “Kalau boleh aku tahu, kenapa kau
menanyakan ini?.” Tanya Mala.
“Aku
hanya penasaran saja.” Jawabku asal.
“Yasudahlah
kami harus segera pulang.” Kata William. Kami pun berpamitan, dan berjalan
pulang.
Dari
kepulangan kami tadi sore, aku dan William hanya berdiam diri –tak saling sapa.
Mungkin dia marah karena aku masih mengingat Romi.
“William.”
Panggilku, William hanya menengok, “Hmm aku minta maaf ya.” Kataku.
“Minta
maaf untuk pa?.” Tanyanya.
“Aku
sudah mengingat-ingat Romi lagi.” Kataku menyesal.
“Sudahlah,
lagi pula kita tidak bisa menghilangkan kenangan kita, yakan?.” William Masih
sibuk membaca bukunya.
Aku
mendekatinya, dan mengambil bukunya, “Kau memaafkanku?.” Tanyaku –memasang muka
memelas.
“Aku
selalu memaafkanmu.” Kini William sudah berdiri dihadapanku. “Aku hanya tidak
mau kau meninggalkanku.” Ucapnya, memelukku.
Aku
membalas pelukkannya, “Aku takakan pernah meninggalkanmu.” Toh memang hanya ada
dia dihidupku sekarang.