Selasa, 28 Februari 2012

SEHARI UNTUK SELAMANYA

            “Hidup terlalu indah untuk ditangisi. Jadi berhentilah bersedih! Semua orang tak pernah benar-benar pergi”

            Kehidupan Sarah berubah seketika. Ketika semua orang yang ia sayangi hilang bak ditelan bumi. Ayah, ibu, kak Reza, dan Andin. Semua telah pergi meninggalkannya. Kecelakaan lalu lintas dua bulan lalu telah merenggut nyawa mereka. Kini satu-satunya harta yang ia punya, hanyalah nenek yang ia sayang. Yang dengan senang hati menampung Sarah paska ditinggal keluarganya. Sebenarnya ia tak ingin tinggal didesa tempat neneknya tinggal. Tetapi ia punya alasan tersendiri. Alasan yang sangat kuat. Karena ia ingin melupakan kenangan pahit itu.
            Sarah yang awalnya seorang remaja periang, sering bersosialisasi. Kini menjadi remaja yang pemurung, dan pendiam. Dia lebih suka menyendiri. Awan kelabu terus menyelimuti dirinya tatkala ia melihat teman-temannya dapat berkumpul dengan keluarga mereka. Sarah selalu tak tahan menampun air matanya. Dan biasanya ia akan berlari kesebuah padang rumput dan menangis disana sampai seseorang menemukannya dan menyurungnya pulang.
            Kini ia juga menjadi sosok yang sangat tertutup. Dia tak pernah berbicara pada siapapun, kecuali ada sesuatu yang penting. Neneknya yang sudah tahu kebiasaan baru cucunya ini, awalnya merasa cemas. Bahkan ia selalu berusaha mengajak Sarah bicara, tetapi Sarah selalu menolak. Ia akan masuk kamar, dan mengurung dirinya sampai pagi. Tetapi kini neneknya sudah tak khawatir jika Sarah pulang larut malam dengan mata kemerahan dan sembab. Neneknya juga sudah terbiasa jika ia dipanggil kesekolah Sarah, karena ia sering membolos.
            “Sarapan, Sarah?.” Tawa nenek setiap pai. Tetapi Sarah hanya meliriknya sebentar dan meninggalkan nenek tanpa menyentuh makanannya.
            Sarah memang tak mau makan makanan rumah. Karena itu hanya akan mengingatkannya pada sang ibu, yang selalu menyiapkan bekal untuknya. Biasanya, jika ia lapar ia akan pergi ke kantin dan membeli sepotong roti. Teman-temannya sering menawarinya bakso, tetapi tentu saja ia menolak. Dengan cara yang halus, tetapi jika temannya memaksa ia tak segan-segan membentak temannya itu. Itulah mengapa awal ia sekolah disini ia tak mempunyai teman. Tetapi untungnya para guru memberi pengertian kepada teman sekelas Sarah tentang keadaannya.
            “Selamat pagi.” Sapa Lani, teman sebangku Sarah. Sayang hanya akan membalas dengan senyuman, dan pergi kekantin.
            Kantin favorit Sarah adalah kantin bu Dini. Kantin yang terletak paling pojok dan paling sepi. Tidak banyak anak yang memilih membeli makanan disini. Selain karena kantin ini letaknya paling terpencil, kantin ini juga hanya menjual makanan ringan, dan roti saja.
            “Ini, bu.” Ucapnya, menyodorkan uang lima ribuan selembar.
            Bu Dini sang penjaga mengambil uang itu, lalu memberikannya kembalian seribuan tiga lembar.
            “Apa kau tidak bosan hanya membeli roti?.” Tanya bu Dini. Tentu Sarah tidak akan menjawab, ia hanya tersenyum sambil menggeleng pelan lalu pergi meninggalkan bu Dini.
            Bangku dibawah pohon adalah tempat terfavorit Sarah disekolah ini. Sarah menemukan tempat ini, beberapa hari setelah ia bersekolah disini. Tempat ini tak begitu special, bahkan pemandangannya pun biasa saja hanya hamparan rumput dan gedung sekolah yang terlihat dari belakang. Dan sekali lagi, menurut Sarah tempat terbaik didunia ini adalah tempat dimana ia bisa menyendiri.
            “Hey, kau!.” Panggil seseorang dari kejauhan.
            Sarah hanya memandanginya. Seorang anak laki-laki bertubuh jangkung, rambut yang sedikit berantakan, dan menggunakan seragam sekolah yang sama dengan Sarah. Anak laki-laki itu berjalan mendekati Sarah dan terus tersenyum sampai didepan Sarah.
            “Hai, sendirian saja?.” Tanyanya. Sarah hanya memandanginya tanpa bergeming sedikit pun. “Halo…?” tangannya melambai-lambai didepan mata Sarah.
            Sarah yang sudah mulia kesal bangkit, dan buru-buru meninggalkan laki-laki itu. Tetapi tangan hangat laki-laki itu menahanya, yang membuat Sarah secara reflek berbalik menghadap laki-laki itu.
            “Namaku Adrian.” Ucapnya memperkenalkan diri, “Aku kelas sebelas IPA satu, siapa namamu?.” Adrian tersenyum menunggu jawaban Sarah.
            “Aku Sarah kelas sepuluh.” Jawab Sarah singkat.
            Mata Adrian terbelalak. Seolah-olah ia baru saja melihat meteor jatuh, “Jadi kau Sarah? Siswi pindahan dari Bandung?.” Ucap Adrian antusias.
            “Ya.” Balas Sarah, “Hmm, maaf aku harus segera masuk kelas.” Sambung Sarah seraya berjalan meninggalkan Adrian.
            “Tunggu!.” Cegahnya, “Bagaimana kalau kita masuk bersama?.” Tawarnya. Sarah hanya melirikny sejenak dan berjalan mendahului Adrian.
            Sepanjang jalan Adrian hanya mengoceh tentang kegiatannya mengajar anak-anak tak mampu. Setiap pulang sekolah ia selalu meluangkan waktu untuk bertemu anak-anak itu, dan ia melakukan ini dengan sukarelawan. Sedangkan Sarah hanya mendengarkannya dengan malas. Dan terkadang menyahutinya dengan kata “Hmm” “Trus?” dan “Ouh.” Dan terkadang ia mengeluarkan kata “Waw” sebagai tanda ia tertarik dengan percakapan ini.
            “Nanti siang kau akan kuajak bertemu dengan mereka.” Janjinya. “Ok, sampai jumpa.” Ucap Adrian buru-buru tanpa persetujuan Sarah. Adrian pergi berlalu meninggalkan Sarah didepan kelasnya.
            Sarah tak bisa berkutik lagi ketika Adrian mengajaknya. Satu sisi dia kesal, karena ada seorang anak laki-laki yang sama sekali tak ia kenal mengganggu dan mengacaukan waktu menyendirinya. Tetapi disisi lain, ia senang. Untuk pertama kalinya semenjak kejadian itu, ada seseorang yang mengajaknya pergi. Dan entah kenapa ia merasa senang dengan ajakan Adrian.
            Sepanjang pelajaran Sarah hanya diam mendengarkan penjelasan bu Tati tentang kehidupan remaja. Bu tati adalah guru budi pekerti. Ia sering menjelaskan semua masalah yang sering dialami remaja. Bu Tati juga sering mengajak Sarah ngobrol tentang masalahnya, tetapi nasib bu Tati sama seperti nenek Sarah. Tetapi bu tati sedikit beruntung, karena Sarah tak meninggalkannya, melainkan mendengarkan dengan malas.
            Berkali-kali Sarah melirik jam dinding yang ada dihadapannya. Jarum jam itu berputar sangat lambat, tak seperti biasanya. Ah tinggal satu menit lagi. Tetapi kenapa jarum itu seolah-olah mati? Jarum itu sama sekali tak bergerak. Dan akhirnya yang ditunggu-tunggu pun tiba. Bel pulang berbunyi ! Sarah cepat-cepat memasukan bukunya yang sudah ia tata berulang kali kedalam tas.
            “Oke anak-anak, cukup sampai disini materi kita. Apakah ada yang ditanyakan?.” Tanya pak Rudi sang guru bahasa.
            Semua murid hanya terdiam. Pandangan mereka tak menuju kearah pak Rudi, melainkan keluar ruangan. Dan pasti mereka tak mendengarkan ucapan pak Rudi.
            “Baiklah, sepertinya tidak ada.” Ucap pak Rudi pasrah, “Kalian boleh pulang.”
            Derap lankah langsung terdengar didepan pintu. Mereka berdesak-desakan untuk keluar ruangan. Sedangkan Sarah, dia masih terduduk ditempatnya. Ia tak ingin ikut-ikutan berdesakan menuju luar. Pandangannya tertuju pada seseorang yang berdiri didekat tiang disebrang kelas. Adrian sudah menunggunya. Sarah buru-buru keluar ruangan ketika antrian didepan sudah sepi.
            “Kau siap?.” Tanya Adrian. Sarah hanya mengangguk kecil, “Yasudah, ayo.” Ajak Adrian sambil menggandeng tangan Sarah.
            Sarah hanya bisa menurut saja ketika Adrian menyuruhnya naik keatas motornya. Dia seolah-olah terkena hipnotis. Bahkan Sarah yang biasanya tak ingin bicara pada siapa pun, kini dia selalu menanggapi perkataan Adrian. Bahkan Sarah sampai tertawa ketika Adrian menceritakan hal-hal konyol yang ia alami.
            Sarah dan Adrian sampai didepan sebuah taman yang sudah dipenuhi anak-anak. Ketika motor Adrian berhenti, anak-anak itu langsung berlarian kearah mereka.
            “Anak-anak, perkenalkan ini namanya kak Sarah.” Ucap Adrian, “Ayo semuanya bilang halo!.”
            “Halo kak Sarah!.” Sapa mereka serempak.
            “Halo.” Balasnya.
            “Kakak, ayo cepat mulai belajarnya.” Bujuk salah seorang anak perempuan berbaju merah.
            “Okelah, ayo.” Sarah yang masik merasa canggung hanya mengikuti Adrian dari belakang.
Ternyata taman ini begitu indah. Banyak bunga-bunga indah yang tumbuh subur disini. Dan pohon-pohon besar yang menghalangi sinar matahari masuk.
Sarah hanya melihat Adrian mengajari anak-anak itu. Sarah berkali-kali tersenyum melihat tingkah laku anak-anak itu. Belum pernah sarah merasa begitu senang. Bahkan untuku sejenak ia melupakan masa lalunya.
“Hey, Sarah!.” Panggil Adrian, “Ayo kesini, kita main.” Sarah menggeleng. Adrian menunduk dan membisikan sesuatu pada anak-anak itu.
Anak-anak itu berlari kearah Sarah, seperti kumpulan para pendemo. Begitu sampai didepan Sarah, tangan-tangan mungil itu menarik lengan Sarah.
“Ayo kak, kita main.” Bujuk mereka, “Ayok!.”
Sarah yang sudah tidak bisa menolak, bangkit, “Baiklah.” Ucapnya.
Anak-anak itu berjalan mendahului Sarah. Kaki-kaki mungil itu bak melayang diudara. Mereka seperti tak ada beban apapun. Padahal Adrian pernah bilang mereka semua kehilangan keluarga mereka saat bencana alam beberapa waktu lalu.
Wajah Adrian berseri ketika anak-anak itu berhasil membujuk Sarah, “Oke, sekarang kita main tangkap dan tebak. Siapa yang mau jadi sukarelawan?.” Mata Adrian menggelinding kearah Sarah. Adrian memberikan kode kepada anak-anak itu agar menunjuk Sarah.
“Kak Sarah!.” Tunjuk anak-anak itu bersamaan.
“Aku tidak mau.” Protes Sarah.
“Oke, berarti sukarelawan kita kali ini adalah Sarah.” Ucap Adrian bangga.
Dengan cekatan tangan Adrian memegang tangan Sarah agar tak berontak. Salah satu dari anak itu memberikan selembar kain panjang berwarna hitam kepada Adrian. Adrian melilitkan kain hitam itu disekitar mata Sarah. Kemudian dia memutar tubuh Sarah, dan berlari menjauhi Sarah.
“Cepat temukan kami!.” Teriak Adrian.
Sarah berjalan perlahan, kakinya terasa kaku. Dia sedikit ragu-ragu untuk melangkah. Tangannya terjulur untuk mencari siapa saja yang ada dihadapannya. Tetapi yang ia dapat hanyalah udara kosong.
“Adrian!.” Panggil Sarah.
Tetapi tak ada yang menyahuti. Yang ia dengar hanyalah gema dari suaranya. Sarah terus menajamkan telinga, berharap menemukan sebuah suara. Tiba-tiba saja tangannya menyentuh sesuatu, seperti wajah seseorang. Seorang laki-laki dengan hidung mancung, alis tebal, dan senyum yang mengembang lebar.
“Adrian?.” Tanya Sarah dalam bisik.
“Ya.” Balas Adrian berbisik.
Tangan Adrian meraih penutup mata Sarah. Mata Sarah perlahan terbuka, melihatkan matanya yang indah. Selama satu menit pandangan Sarah dan Adrian bertabrakan. Pandangan itu tak teralihkan sedikit pun.
“Ecieeeee…..” teriak anak-anak dibelakang Adrian. Secara reflek mereka berbalik dan menghadap anak-anak itu.
“Kakak pacaran, ya?.” Tanya anak laki-laki yang paling kecil. Pipi Sarah merona karena malu.
“Hus kalian ini.” ucap Adrian, “Sudahlah sepertinya sebentar lagi mau hujan, kita sambung belajarnya besok ya.”
“Baiklah kak.” Jawab mereka seraya berlari meninggal mereka.
“Hmm, yasudah aku pulang dulu.” Ucap Sarah. Baru selangkah ia melangkahkan kakinya, tangan Adrian menahannya.
“Akan kuantar kau pulang.” tanpa basa-basi lagi Adrian menarik lengan Sarah menuju motor yang terparkir dibawah pohon besar. “Pegangan yang kencang ya, aku mau ngebut.” Awalnya Sarah menolak, tetapi akhirnya pelukan Sarah jatuh juga kepunggung Adrian yang tengah melajukan motornya dengan kencang.
Ucapan Adrian benar. Ditengah jalan hujan turun begitu lebatnya, menyebabkan baju mereka basah kuyup. Bibir Sarah sudah bergetar dan membiru karena kedinginan. Pelukannya juga semakin erat bermaksud agar tak kedinginan. Tetapi upayanya sia-sia, Adrian sudah sangat dingin, bahkan tubuhnya sudah bergetar hebat.
“Lebih baik kau keringkan dulu bajumu.” Tawar Sarah ketika mereka sampai didepan rumah Sarah.
“Tidak, terimakasih.” Ucap Adrian, ketara sekali dia berusaha menutupi keadaannya, “Aku harus buru-buru pulang.”
Sarah menatapnya khawatir, “Yasudah, hati-hati.” Ucapnya, “Dan terimakasih untuk hari ini.” Adrian hanya membalas dengan anggukan, kemudian ia menghilang dalam gelap.
Sarah berlari kedalam rumah, dan menyambar handuk yang tergantung di kursi kayu. Tanpa intruksi, ia lalu masuk kedalam kamar mandi. Dan membilas seluruh badannya.
Belum pernah Sarah merasa sebahagia ini sebelumnya. Bahkan ia masih belum percaya ada yang mengajaknya pergi. Neneknya pun merasa aneh sewaktu Sarah keluar dari kamar mandi dan kemudian menyapanya.
Hari ini begitu indah untuknya. Sarah tak ingin cepat-cepat mengakhiri malam ini. tetapi apa daya matanya sudah tak tahan menahan kantuk yang sudah melanda sejak tadi.
Sarah begitu semangat ketika sinar matahari menerobos masuk kedalam kamarnya. Bahkan karena begitu semangatnya, ia datang ke sekolah terlalu pagi. Dan seperti biasa ia langsung pergi ke belakang gedung sekolah, menunggu Adrian. Tetapi sampai bel masuk berbunyi, Adrian tak kunjung datang.
Saat istirahat Sarah terus mencari Adrian. Dia juga bertanya pada teman sekelas Adrian. Tetapi jawaban yang Sarah terima agak mengecewakan. Menurut temanya, Adrian sudah pindah sekolah. Saat pulang sekolah Sarah pun mencari Adrian ke taman. Berharap ia melihat Adrian disana, bersama anak-anak itu. Tetapi sekali lagi ia harus menelan kekecewaan. Dia mendapatkan jawaban yang sama. Adrian pindah dari desa ini.
Dan saat itu pula Sarah marah terhadap Adrian dan dirinya. Pertama, Adrian tak pernah bilang bahwa ia akan pergi. Kedua, ia terlalu mengaharapkan Adrian akan datang lagi untuk menghiburnya.
Tiga bulan berselang dari kejadian Sarah kehilangan sosok Adrian, keadaan Sarah semakin memburuk. Ia semakin menjadi gadis yang pemurung dan pendiam. Setiap pulang sekolah ia selalu duduk dibangku belakang. Semua guru, teman, dan neneknya pun sangat khawatir. Berbagai upaya mereka lakukan agar Sarah membaik. Tetapi mereka tak jua mendapatkan hasil.
Seperti hari ini, walau matahari sudah hampir tergelincir, Sarah masih setia duduk dibawah pohon. Dalam hati kecilnya Sarah masih mengharapkan Adrian kembali. Tetapi terkadang ia juga marah pada dirinya yang terlalu banyak berharap.
“Kau Sarah?.” Tanya seorang laki-laki dari balik bayangan pohon.
“Ya, kau siapa?.” Laki-laki itu berjala mendekati Sarah. Bayangan pohon yang semula menutupi wajahnya, kini telah menghilang menampakan wajah laki-laki itu, “Adrian?.” Tanya Sarah ragu.
“Aku bukan Adrian.” Ucapnya ketika sampai didepan Sarah, “Namaku Andrea, kembaran Adrian.” Sambungnya.
Tentu saja Sarah percaya laki-laki itu bukanlah Adrian. Walaupun mereka saudara kembar, tetapi Sarah dapat membedakannya. Adrian tidak mungkin melepaskan senyumnya dihadapan Sarah. Tetapi Andrea, sedari tadi ia tak pernah tersenyum sedikit pun.
“Lalu dimana Adrian?.” Tanya Sarah.
“Hmmm.” Tangan Andrea merogoh saku belakang celananya, dan mengeluarkan sebuah amplop berwarna putih, “Bacalah!.” Ucapnya mengulurkan surat itu kepada Sarah.
Sarah mengambil amplop itu dan merobek ujungnya. Ternyata isinya hanya secarik kertas putih. Sarah mendongak dan menatap Andrea. Tetapi Andrea hanya memberi kode agar Sarah membacanya.
Sarah membuka perlahan kertas itu. Ujung bibirnya tertarik kebelakang, ketika ia mengetahui sang pengirim adalah Adrian. Tetapi ketika pertengahan surat mata Sarah berkaca-kaca. Dan ia tak kuasa menahan tangisnya.
“Apa maksud dari surat ini?.” nada suara Sarah melemah karena tangis, “Ini semua pasti hanya lelucon, yakan?.” Sambungnya buru-buru.
Andrea menarik napas dan menghembuskannya lagi, “Adrian pindah kemari semenjak ia tahu, ia mengidap leukemia stadium akhir. Ia juga tahu waktunya tak banyak, jadi ia memilih tinggal jauh dari keluarganya.”
“Lalu ia sekarang….”
“Tiga bulan yang lalu, keadaannya semakin parah.” Potong Andrea, “Dan akhirnya beberapa minggu lalu, ia harus kalah pada penyakitnya.”
“Adrian meninggal?.” Tangis Sarah sudah benar-benar pecah disini.
Andrea hanya menunduk. “Yang sabar ya.” Ucapnya menepuk pundak Sarah.
Adrian satu-satunya orang yang bisa membuat ia tersenyum. kini harus pergi meninggalkan Sarah. Pergi selamanya dan tak akan pernah kembali. Tetapi kini Sarah berjanji pada dirinya sendiri. Dia tak akan pernah terlarut dalam kesedihan lagi!


Surat
To     : Sarah
From : Adrian
Hey kau…
Hehehe kau pasti masih ingat kata-kata itu kan, Sarah? Kata-kata pertamaku untukmu.
Mungkin ketika aku kau membaca surat ini aku sudah tiada didunia ini. maaf aku tak pernah memberitahumu tentang keadaanku yang sebenarnya. Tetapi sungguh, kulakukan semua ini hanya agar kau tak sedih.
Aku hanya ingin bilang, semenjak pertama kali kita bertemu, aku merasa kau orang yang special. Satu-satunya orang yang bisa membuatku lupa akan penyakitku. Satu-satunya orang yang bisa membuat semangat hidupku kembali.
Awalnya, aku pindah kedesa ini karena aku ingin menghabiskan sisa hidupkku jauh dari orang yang kusayang. Agar mereka tak sedih jika aku meninggal nanti. Dan aku tepat memilih desa ini. karena aku bertemu dengan kau.
Semenjak aku mendengar ada seseorang yang baru pindah dari Bandung, dan mendengar semua kisahnya. Aku sangat yakin orang itu mampu membuatku lupa akan penyakitku, karena aku akan sibuk menghiburmu, dan aku benar.
Sehari bersamamu membuat aku lupa akan penyakitku. Walau keesokan harinya aku harus terbaring melawan penyakit ini. yang menurut dokter sudah semakin parah dan waktuku sudah hampir habis. Tetapi aku senang. Disisa hidupku aku masih diberi kesempatan untuk mengenalmu. Bidadari penyemangatku.
Dan Sarah ingatlah! Hidup terlalu indah untuk ditangisi. Jadi berhentilah bersedih. Semua orang yang kau sayang selalu ada didekatmu. Mereka tak benar-benar pergi. Dan aku akan selalu menunggumu disurga.
                                                                                    Adrian