Sabtu, 10 Desember 2011

Temanku Vampire ?!

               

Awan mendung menghiasi pagi hari ini. Udara dingin langsung merasuk kedalam tulangku. Walaupun aku sudah memakai jaket kulit –pemberian ayahku- yang sangat tebal ini, tetapi aku masih bisa merasakan hembusan angin tersebut. Aku perlahan berjalan menelusuri halamanku menuju garasi didekat rumahku. Sedikit lebih hangat ketika aku masuk kedalam mobilku. Aku bersandar sebentar dan mulai menstarter mobilku.
Titik-titik hujan masih menetes didahan-dahan pohon, dan genangan air masih menghiasi jalanan akibat hujan semalam. Sebenarnya aku senang dengan hujan, karena hujan pagi ini jalanan menjadi sepi dan aku bisa leluasa melajukan mobilku dengan sekencang-kencangnya.
Tak perlu memakan waktu lama untuk sampai kesekolahku. Hanya dalam waktu setengah jam saja aku sudah sampai di tempat parker. Hanya ada beberapa mobil yang terparkir disini.  Aku memarkirkan mobilku tepat disebelah mobil sedan silver yang tak kutahui siapa pemiliknya. Biasanya aku hafal semua pemilik kendaraan disini tetapi hanya dengan catatan aku sering melihatnya. Tetapi untuk mobil ini kurasa baru kali ini aku melihatnya.
Aku berjalan melewati lorong demi lorong sekolahku. Masih sangat sepi sekali.
“Reva!.” Panggil seseorang.
Aku berbalik. Seorang perempuan berlari kearahku, badannya yang mungil memudahkannya untuk berlari. Rambut panjangnya yang ia ikat kuda, bergerak menari mengikuti langkah kakinya. Dia pun berhenti tepat dihadapanku, napasnya sedikit tersengal-sengal.
“Selamat pagi.” Ucapnya.
“Selamat pagi!.” Balasku, “Kau kenapa? Sepertinya terburu-buru sekali?.” Tanyaku.
“Aku pinjam buku biologi-mu ya?.” Ucapnya setelah napasnya kembali normal. “Hari ini ada ulangan biologi, dan aku lupa membawa bukuku.” Sambungnya.
Sudah kutebak, Angelina selalu teledor dalam hal penting apapun. Termasuk saat ini.
“Baiklah.” Aku mengambil bukuku, “Jangan lupa kembalikan setelah istirahat, ok?.” Ucapku menyerahkan buku tersebut.
Ange mengambilnya, “Tenang saja pasti akan kukembalikan.” Ucapnya.
Aku mulai berjalan beriringan.
“Kau tahu, tadi malam aku bertemu dengan Mr. vampire itu, di apotik.” Ucapnya.
Mr. vampire adalah julukan untuk Reynold -anak baru- disekolah kami. Tentu ada alasannya kami menyebut dia sebagai ‘vampire’. Pertama, semenjak hari pertamanya disini dia hamper tak pernah menegur siswa-siswi disini. Kedua, dia tak pernah memakan makanan kantin, maksudku aneh saja semua siswa membeli makanan di kantin sedangkan dia hanya duduk dan memakan bekalnya yang setelah kuperhatikan adalah sayuran –selalu sayur-. Dan terakhir, ini yang membuat kami semua bingung dia selalu memakai jaket kulit panjangnya walaupun hari sedang panas maupun dingin dia selalu memakainya.
“Di apotik? Sedang apa dia?.” Tanyaku, memikirkanya apa yang dilakukan Peter malam-malam di apotik.
“Entah, yang jelas dia sangat kesakitan.” Ucapnya, “Dan kau tahu? Kulitnya memerah.”
“Lalu kenapa jika kulitnya memerah?.”
“Kemarin aku tak sengaja melihat Reynold menarik jaket milik Mr. Vampire dan tangannya terkena sinar matahari. Kau tahu sendiri kemarin matahari sedang terik-teriknya.” Ucapnya, “Dan mungkin saja dia terbakar!!!.”
“Separah itu kah?.” Ange mengangguk.
“Mungkin hari ini dia akan diperban, dan memakai jaket yang lebih tertutup dari pada sebelumnya.” Tebaknya.
“Mungkin saja.” Ucapku sedikit tertawa.
Kami berpisah dipersimpangan lorong. Dan akupun berjalan sendirian. Berjalan dilorong sekolah –sendirian- membuat bulu kudukku berdiri. Aku berusaha bersiul, tetapi yang keluar hanyalah hembusan napasku.
Dan langkahku pun terhenti karena suatu pemandangan yang sangat membuatku terkejut sekaligus mengerikan. Aku melihat Reynold meminum segelas cairan berwarna merah kental, yang menurutku adalah darah. Darahku serasa menyusut, dan kakiku pun tak bisa bergerak –aku terpaku melihat Reynold-. Muluku menganga lebar, sedangkan tanganku berusaha menutup mulutku. Aku berusaha untuk berteriak tetapi sepertinya suaraku pun menghilang.
Tiba-tiba saja, Reynold melihat kearahku, tatapannya sangat tajam dan diujung mulutnya menetes cairan itu yang dengan cepat diusap dengan punggung tangannya. Akhirnya nyawaku kembali, sehingga aku berlari dari tempatku berdiri.
Aku berhenti tepat didepan kelasku, aku mengatur napasku sebelum masuk kedalam kelas. Hanya ada sekitar empat orang siswa didalam, mereka semua melihat kearahku ketika aku masuk. Tanpa memperdulikan mereka, aku duduk dikursiku dan mengeluarkan bukuku.
Aku tak bisa mengikuti pelajaran pagi ini dengan baik. Pikiranku melayang pada pemandangan tadi pagi. Badanku masih merinding jika memikirkannya. Dan yang membuat pikiranku kembali adalah bunyi bel pertanda istirahat yang berbunyi nyaring ditelingaku.
“Reva, ini aku kembalikan.” Ucap Ange ketika aku hendak keluar, “Trims, ya.”
Aku mengambilnya, dan memasukanny kedalam laci mejaku. “Bagaimana ulangan tadi?.” Tanyaku.
“Yeah, seperti biasa Mr. Brown menjaga sangat ketat.” Ucapnya, “Hey kau sepertinya pucat sekali, kau baik-baik saja?.” Tanyanya khawatir.
“Aku baik-baik saja, hanya….” Aku berpikir sejenak, “Lapar.” Ucapku cepat-cepat, aku memang sedanng lapar.
Kami berdua keluar kelas, menuju kantin. Dan ketika kami melewati ruangan tersebut, aku melirik melewati ekor mataku. Mengecek apakah dia ada didalam atau tidak. Kami sampai ditempat tujuan kami. Kantin sudah dipenuhi dengan lautan manusia yang sedang makan, walau  ada juga yang bersenda gurau.
Kami duduk dipojok ruangan. Dan mulai memakan makanan kami. Aku hanya mengambil sepotong roti dan sekaleng susu.
“Lihat itu!.” Tangan Ange yang sedang memegang roti menunjuk Reynold yang duduk diseberang ruangan, “Benarkan apa kataku? Tangannya diperban.” Ucapnya, mulutnya dipenuhi roti.
Aku teringat kembali kejadian tadi pagi, aku pun hanya bisa tertunduk lemas.
“Aku khawatir dengan petugas apotek.” Aku menatapnya, “Mungkin dia melakukan sesuatu yang berbahaya pada mereka.”
“Sudahlah Ange!.” Ucapku.
“Kau ini kenapa?.”
“Aku hanya sedang tak ingin membicarakan tentang dia.” Dalihku.
“Hmm baiklah.” Ucapnya menyerah.
Walaupun aku sudah menahan agar tak melirik kearahnya, tetapi tetap saja mata ini melirik kearahnya, dan sekilas aku melihat dia tersenyum. bel berbunyi ketika aku selesai menghabiskan susuku. Aku dan Ange pun berpisah menuju kelas masing-masing.
Hari ini berjalan sangat cepat, tak terasa bel pulang berbunyi. Aku pun buru-buru melesat menuju mobilku. Ditempat parkiran aku tak langsung masuk kedalam mobilku, melainkan berkaca pada spionku dulu. Dan tiba-tiba sebuah tangan menepuk pundakku.
“AAAAAA.” Jeritku. aku membalikkan tubuhku dan dibelakangku sudah berdiri Reynold yang menggendong tasnya.
“Maaf, sudah membuatmu terkejut.” Ucapnya.
Aku mencoba mengusai tubuhku kembali, “Takapa, ada apa?.” Tanyaku berusaha bersikap normal.
“Tadi pagi, aku melihatmu dilorong.” Tanganku mulai bergetar, “Aku berpikir, kau pasti mengira aku meminum darah atau semacamnya, yakan?.”
“Ah- tidak.”
“Sudahlah, aku sudah biasa diperlakukan begitu. Bahkan ditempat asalku mereka terang-terangan memanggilku vampire.” Reynold tertawa. “Tetapi aku bisa buktikan, itu sama sekali bukan darah.” Ucapnya meyakinkan.
“Lalu itu apa?.” Nada suaraku sedikit bergetar.
“Itu vitamin.”
“Vitamin?.”
“Ya, aku begini karena aku mengidap kelainan pada kulit. Aku tak bisa terkena sinar matahari secara langsung, bahkan makananku pun dijaga secara ketat. Jika tidak, bisa berakibat fatal untukku.” Jelasnya.
Aku merasa bersalah telah menuduhnya, “Maafkan aku.” Ucapku menyesal.
Reynold tersenyum, “Takapa, lagi pula aku sudah terbiasa.” Ucapnya, “Oh iya, aku hanya menceritakan ini padamu karena aku tak mau yang lain melihatku dengan tatapan mengasiani.” Sambungnya, “Hmm sepertinya aku harus cepat-cepat pulang. sampai besok.” Ucapnya meninggalkanku.
Aku masuk kedalam mobilku, dan mulai melajukan mobilku. Ange pasti akan merasa sangat malu sekali jika dia tahu yang sesungguhnya, karena Ange-lah yang menyebarkan berita bahwa Reynold adalah vampire.

Jumat, 09 Desember 2011

Antara Cinta dan Sahabat

Matahari sudah menampakkan sinarnya, ketika aku memakai sepatuku  bersiap berangkat sekolah. Waktu sudah menunjukkan pukul 06.30, aku bergegas keluar rumah. Sekolahku tidak terlalu jauh, jadi cukup hanya dengan berjalan kaki sepuluh menit saja aku sudah sampai.
            “Windy!.” Panggil seseorang. Aku membalikkan badanku, seorang perempuan berlari mendekatiku. Rambutnya yang diikat kuda bergoyang seiring derap langkahnya.
            “Lena!.” sahutku, perempuan itu adalah Susan sahabatku.
            “Win, tadi aku ketemu kak Ryan.” Cerita Susan semangat, “Dia menyapaku.” Susan tersenyum. Kak Ryan seorang kapten basket di sekolah kami, menurut Susan dia itu keren banget tapi menurutku sih biasa aja.
            “Oh ya?.” Kataku pura-pura bersemangat, Susan hanya mengangguk. “Len, kamu sudah mengerjakan PR biologi?.” Tanyaku mengalihkan pembicaraan.
            Muka Susan berubah seketika, “Kenapa harus ngomongin PR sih?.” Protes Lena.
            “Kamu pasti belum ngerjain ya?.” Tebakku, Lena hanya tersenyum.
            “Aku nyontek ya, please.” Rayu Lena.
            “Haduh maaf Len, aku juga belum selesai.” Kataku, “Mendingan kita masuk ke kelas aja, dah mau bel nih.” Ajakku.
            Seperti biasa Lena duduk di sebelahku. Pelajaran pertama adalah sejarah, murid-murid disuruh membaca terlebih dahulu, “Windy, Windy.” Ujar Lena sambil menggoyang-goyangkan tanganku.
            “Apaan sih?.” Kataku galak.
            “Itu, itu kak Ryan.” Tunjuk Lena keluar jendela, seorang laki-laki tinggi, putih, dan sedikit mirip orang Arab lewat depan kelas kami, melihat kearah kami dan tersenyum. “Dia tersenyum.” Kata Lena, aku mengalihkan pandangankku kebuku sejarah lagi.
            Bel istirahat berbunyi, semua murid berhamburan keluar. “Win, makan yuk!.” Ajak Lena.
            “Hmm nanti saja ah, aku mau ke perpus, nyari buku buat biologi.” Tolakku.
            “Oh yaudah, aku ke kantin dulu ya.”
            Aku berjalan menyusuri deretan rak buku, dan berhenti tepat di barisan buku bertuliskan “IPA” , aku mengambil buku biologi yang aku cari dan duduk di kursi yang ada dipojok ruangan. Aku mencatat hal-hal yang aku butuhkan. Tiba-tiba seseorang berdiri dihadapanku, aku mendongak laki-laki tinggi, yang tersenyum kearahku.
            “Kak Ryan?.” Pekikku terkejut, dia hanya tersenyum dan duduk dikursi di depanku.
            “Rajin sekali kamu.” Pujinya.
            “Ah, biasa aja kak ini juga lagi ada tugas dari guru aja.” Kataku.
            “Aku ganggu gak nih?.” Tanya kak Ryan, aku hanya menggeleng, “Aku mau ngomong kalau aku suka sama kamu.” Tangan kak Ryan memegang tanganku, aku terkejut dan hanya bisa terdiam. “Sudah lama aku suka kamu, kamu mau gak jadi pacar aku?.”
            Aku menarik tanganku, “Maaf kak, tapi aku ga bisa terima kakak.”
            “Kenapa?.” Tanya kak Ryan
            “karena, aku belum mau untuk pacaran. Mungkin kita bisa jadi teman.” Kataku tersenyum. Kak Ryan hanya terdiam, “Maaf kak aku harus balik ke kelas.” Kataku pergi dari perpus.
            Di rumah, aku ga bisa berhenti memikirkan ucapan kak Ryan. Kenapa aku ini? Aku ga mungkin suka sama dia, aku ga bisa mencintai dia, kata-kata itu selalu muncul di kepalaku. Tiba-tiba saja ponselku bordering, aku melihat nama yang tertera di layar.
            “Lena?.” Kataku, “Hai Len.” Sapaku.
            “Windy, kau tahu tidak?.”
            “Tidak.” Kataku.
            “Tadi aku pulang bareng kak Ryan.” Katanya semangat.
            “Oh ya? Gimana tuh ceritanya?.” Tanyaku, maksudnya sih supaya dia yang bercerita aku lagi malas bicara.
            “Tadi tuh, tadi aku lagi jalan, eh taunya dia muncul trus nawarin aku pulang bareng, ya udah aku terima dong tawarannya.”
            “Trus gimana?.” Lena mulai bercerita panjang lebar, aku hanya mendengarkan dengan malas. “Maaf Len tapi aku sudah ngantuk, besok saja ya lanjut ceritanya.” Kataku.
“Yasudah sampai ketemu besok.”  kemudian Lena menutup telponnya.
            Keesokan paginya, aku melihat sekumpulan orang mengerumuni mading sekolah. Aku berjalan kearah mereka. Aku mendongakkan kepalaku berusaha melihat. Tapi karena terlalu banyak kerumunan orang aku tak bisa melihatnya.
            “Ada apa sih?.” Tanyaku menyerah untuk melihat, semua orang langsung berbalik menghadapku, tetapi satu orang menatapku dengan marah.
            “Dasar penghianat!.” Kata Lena, sambil pergi meninggalkanku. Aku melihat sebuah foto yang membuat terkejut. Foto aku dengan kak Ryan di perpus, siapa yang ngambil foto ini? Tanyaku dalam hati.
            Aku memasuki kelasku, tas Lena tidak ada di kursinya. Tentu saja dia pasti marah kepadaku, dia pikir aku berpacaran dengan kak Ryan. Pada saat istirahat Lena masih tidak mau bicara denganku, aku harus lakukan sesuatu. Aku mencari seseorang yang mungkin bisa memperbaiki semua ini, itu dia laki-laki yang aku cari duduk di pojok lapangan.
            “Kak Ryan.” Panggilku, “Kita harus bicara!.” Aku mengajak kak Ryan pergi ke perpus.
            “Ada apa?.” Tanya kak Ryan.
            “Aku mau kakak ngomong ke Lena kalau kita gak ada apa-apa!.” Kataku.
            “Maksud kamu?.” Tanyanya heran.
            “Lena sudah salah sangka sama kita, dia pikir kita pacaran.” Kataku, “Dia itu suka sama kakak.” Kataku, entah kenapa tiba-tiba saja dadaku merasa sesak.
            “Jadi maksud kamu, kakak harus ngomong ke Lena kalau kakak suka sama dia?.” Aku mengangguk, “Tapi kamu tahu aku suka sama kamu.”
            “Iya aku tahu, aku juga suka sama kakak.” Kataku pelan. “Tapi aku ga mau persahabatanku hancur kak, jadi tolong kakak mengerti.”
            “Jadi maksud kamu aku harus menyatakan cinta ke  dia gitu?.” Aku mengangguk pelan, kak Ryan kemudian pergi.
            Malam harinya aku hanya bisa tertunduk lemas dimeja belajarku. Ponselku bergetar aku membaca pesan masuknya “Aku sudah melaksanakan permintaanmu, semoga kau senang.” Pesan tersebut dari kak Ryan, aku bingung aku harus gembira, atau sedih. Semalaman aku ga bisa tidur semua kata-kata kak Ryan masih terdengar di telingaku. Berkali-kali aku mencoba tidur, tapi rasanya sulit sekali memejamkan mataku.
            Pagi harinya, tidak seperti biasanya hari ini rasanya aku tidak bersemangat kesekolah. Aku sudah menyiapkan semua kemungkinan. Kemungkinan pertama, Lena belum memaafkan aku, dan kemungkinan kedua adalah aku akan sedih melihat kenyataan bahwa mereka telah jadian. Aku duduk di depan kelas, memandang lapangan kosong.
            “Hai Win!.” Sapa Lena yang duduk disebelahku.
            “Hai Len.!” Sapaku, berarti Lena sudah memaafkanku, tinggal satu kemungkinan lagi.
            “Win aku minta maaf ya, aku udah nuduh kamu yang gak-gak.” Kata Lena, aku hanya mengangguk, “Kamu tau tidak aku dan kak Ryan udah jadian.” Kata Lena semangat.
            Aku tahu batinku. “Wah selamat ya.” Kataku pura-pura semangat padahal hatiku seperti ditusuk-tusuk. “Jadi, kita tetap sahabat kan?.” Kataku mengacungkan kelingkingku.
            “Sahabat selamanya.” Lena mengaitkan kelingkingnya di kelingkingku.
            Dan akhirnya aku dan Lena tetap menjadi sahabat. Walaupun pada akhirnya aku yang tersakiti. Tapi begitulah persahabatan, terkadang kita harus mengalah agar tidak ada yang tersakiti.