Minggu, 14 April 2013

Ervina


Sore ini begitu damai dan sepi. Tak banyak orang berlalu lalang ditaman. Hanya ada beberapa anak kecil yang tengah asyik bermain. Kumainkan kameraku, mengatur fokusnya lalu kutangkap gambar mereka. Sorotan damai terpancar dari wajah masing-masing anak itu, meski mereka memakai baju yang kumal dan lusuh namun mereka seperti tak ada beban. Mereka semua terbebas dari beban, mereka tertawa lepas, bermain tanpa ada yang melarang. Sayup-sayup aku mendengar sebuah suara, bukan suara tawa anak kecil, itu suara musik. Ya aku mendengar sebuah musik! Tapi dimana dan siapa yang memainkannya?

Kulangkahkan kaki menuju selatan, melewati beberapa remaja yang tengah berkumpul, tapi bukan mereka sumbernya. Kuberjalan lagi lebih jauh, dan disana aku melihat lima orang laki-laki sedang bermain musik, ya itu sumber suara itu. Mereka bukan pengamen jalanan, karena aku tak melihat kaleng maupun benda lain yang biasa digunakan pengamen untuk menaruh uang. Lagi pula suara dan cara mereka bermain musik terlalu bagus untuk ukuran pengamen. Lebih baik kuabadikan gambar mereka. Kujepret kameraku. Mereka langsung melihatu dengan ekspresi terkejut.

Aku memasang senyum, "Hai!." Sapaku.

"Kamu siapa?." Laki-laki yang paling dekat denganku yang bertanya. Poninya yang panjang menjuntai menutupi sebagian wajahnya. Aksen sundanya begitu kental terdengar dalam suaranya.
"Namaku Ervina." Aku mengulurkan tangan yang langsung dibalas olehnya.

"Saya Teguh, ini teman-teman saya, Nuki, Eboth, Uday dan Soni." Ucapnya memperkenalkan diri. Mereka tersenyum dan mengangguk kearahku.

"Boleh aku ikut gabung?." Mereka terlihat menimbang-nimbang dengan tawaranku. Aku tahu mereka pasti terheran-heran melihat ada perempuan yang ingin ikut gabung dengan mereka, "Kalau kalian keberatan aku tidak apa-apa, aku bisa pergi." Timpalku.

"Ah tidak, kami tidak keberatan ko." Sahut Soni.

"Justru kami senang jika ada yang mau mendengar kami bermain." Ucap Eboth dengan nada bercandanya. 

Aku tersenyum mendengar ucapan Eboth dan mengambil tempat duduk disebelah Teguh. Ternyata untuk membaur dengan mereka tidak sesulit yang kubayangkan. Mereka semua sangat terbuka, ramai, dan gila. Tak ada yang namanya jaga image. Semua kegilaan tergambar disetiap canda tawa.

Benar dugaanku, mereka semua orang sunda, lebih tepatnya mereka datang dari Sukabumi. Mereka memiliki band bernama Vagetoz, dan mereka datang ke Jakarta untuk mencari seorang produser rekaman. Lagu-lagu yang mereka ciptakan sangat menyentuh dihati, permainan musik mereka juga sangat bagus, jadi aku ragu jika ada produser musik yang menolak mereka. Yang membuat mereka berbeda dari band-band yang sudah terkenal adalah warna vokal Teguh, itu yang menurutku menjadikan ciri khas bagi mereka.

Kulirik jam tanganku. Sudah jam setengah enam, aku harus pulang sekarang.

"Teman-teman aku harus pulang sekarang." Ucapku setelah mereka selsai menyanyikan satu lagu ciptaan mereka.

"Perasaan baru sebentar ya." Sahut Nuki yang juga melirik jam tangannya. "Besok kamu kesini lagi ya Vin." Usulnya.

"Bener Vin, besok kamu kesini lagi aja. Kamu bisa gratis dengerin lagu-lagu kita, sebelum kita terkenal, ya nggak?." Uday membenarkan yang langsung dibalas dengan tawa kecil teman-temannya.

Aku tersenyum, "Pasti aku akan datang, hmm kalian selalu disini, kan?." Tanyaku untuk kepastian.

"Setiap sore, ditempat yang sama kami selalu ada." Jawab Teguh. "Yah lumayan buat cari inspirasi, siapa tahu ada produser lewat trus kita diajak rekaman." Aku tertawa mendengar pernyataan Teguh barusan.

"Oke, besok aku akan kesini lagi, sampai ketemu besok ya." Aku berbalik dan berjalan meninggalkan mereka. Telingaku mendengar seseorang menyuruh Teguh untuk mengantarku tapi aku tidak yakin itu siapa.

"Vin tunggu!." Teriak Teguh, aku berbalik. "Aku antar ya Vin." Aku sedikit terkejut dengan tawaran Teguh ini, "Aku tidak tega membiarkan cewek ca.... maksudku ini sudah sore, bahaya jika kamu jalan sendirian."

Aku mengangguk kecil, lalu kami beriringan berjalan menuju rumahku. Perjalanan tak begitu terasa, sepanjang jalan Teguh menceritakan perjalanan mereka dari Sukabumi sampai Jakarta ini. Perjalanan mereka tidak bisa dibilang mudah, mereka banyak melalui lika-liku kehidupan, mulai dari mengikuti berbagai festival band, dan menang dalam festival tersebut, sampai mereka dilarang untuk mengikuti festival band lagi karena mereka sudah terlalu sering menjuarai festival band. Aku membayangkan jika aku yang ada diposisi mereka.

"Kalian memang hebat, belum pernah aku menemukan orang seperti kalian, yang berusaha keras untuk menggapai cita-cita." Ucapku ketika berada didepan rumahku.

Teguh tersipu malu, "Kamu terlalu berlebihan Vin. Semua orang harus jatuh bangun terlebih dahulu untuk meraih kesuksesan."

"Ya kau benar." Aku membenarkan, "Masuk dulu yuk!." Ajakku.

"Ah tidak usah. Aku masih ada latihan sama anak-anak." Ucapnya.

"Oh yasudah, hati-hati ya." Teguh hanya tertawa kecil lantas pergi.

Aku masuk kedalam rumah. Ayah sudah menunggu diruang tamu sembari membaca korannya. Kulirik jam dinding yang berada tepat didepanku. Pantas saja sudah jam enam, ayah pasti sangat cemas aku tidak pulang-pulang. Kuberjalan mendekati ayah, bersikap seolah tidak terjadi apa-apa.

"Dari mana kamu Vin?." Tanya ayah.

"Dari taman yah, cari obyek foto yang bagus." Jawabku.

Ayah melepas kacamatanya, dan menaruhnya diatas meja, "Lantas laki-laki itu siapa?."

Aku berfikir sejenak, apakah aku harus memberitahu ayah tentang pekrjaan Teguh? Ayah memang tidak pernah memandang orang dari pekerjaannya. Tapi aku ragu juga akan menerima pekerjaan Teguh yang belum pasti.

"Dia Teguh yah, dia...."

"Pengamen." Tebak ayah.

"Ayah!." Tegurku. "Teguh seorang musisi yah, lagi pula dia dan teman-temannya baik sama Vina."

Ayah bersikap seolah tak mendengarkan, "Oh jadi dia punya teman." Ayah mengangguk-angguk kecil.

"Vina bisa menjaga diri yah." Aku tetap keras kepala.

Kini ayah tak bersikap acuhh, "Ayah percaya kamu bisa jaga diri. Tapi ingat penyakitmu Vin, kamu tidak boleh terlalu capek." Selalu saja tentang penyakit ini. Kenapa sih penyakit ini selalu menghambatku?

Kalaupun aku terlihat baik-baik saja dari luar, tetapi dari dalam diriku aku sama sekali tidak baik-baik saja. Aku mengidap kanker otak stadium satu, baru sebulan yang lalu aku mengetahui aku mengidap penyakit ini. Belum terlalu parah memang, tapi sewaktu-waktu aku bisa merasakan pusing, dan yang parahnya aku bisa mimisan kemudian pingsan. Dokter sudah menyarankan untuk menjalani kemoterapi, tetapi dengan keras kepala aku menolaknya. Aku tahu akibat yang akan ditimbulkan dari terapi itu, kulitku akan menua, rambutku perlahan rontok, dan kemudian aku akan terlihat seperti mayat hidup. Aku lebih memilih untuk meminum obat, bukan untuk menyembuhkan memang tapi hanya untuk mengurangi rasa sakitnya.

"Vina ingat itu yah, lagipula Vina selalu membawa obat Vina." Aku mengayun-ayunkan obatku yang barusan kuambil dari dalam tas.

Ayah tersenyum kecil, "Ayah percaya kamu. Oh iya ngomong-ngomong siapa mereka itu? Kamu terlihat sangat bahagia sepertinya, lain kali bawa temanmu itu kesini, ayah juga ingin kenal dengan mereka." 

Itulah ayahku yang kusayangi. Ibuku sudah meninggal semenjak umurku sepuluh tahun, karena penyakit ini. Itu yang membuat ayahku begitu menjagaku, tapi aku meyakinkan ayahku bahwa aku baik-baik saja.

Hari-hari berikutnya ayah sudah tak pernah mempermasalahkan lagi jika aku pulang bersama anak-anak Vagetoz. Jika ayah sedang bosan ayah selalu mengajak mereka bermain catur secara bergantian. Dan ayah selalu mengalahkan mereka. Tapi setelah sekian lama bermain dengan ayah, kini Teguh menjadi lawan yang berat bagi ayah. Ayah sampai kewalahan menghadapi Teguh.

Tak tahu mengapa kini aku sering memperhatikan Teguh. Terkadang dia menjadi sangat begitu serius, tapi kemudian dia bisa sangat mencair. Jantungku selalu saja meloncat-loncat ketika aku bersama dia. Aku luluh menahan getaran-getaran aneh yang timbul. Apa mungkin ini yang namanya cinta? Apa aku masih pantas merasakannya? Sementara hidupku sudah tak akan lama lagi.

"Vin, makasih ya untuk hari ini." Ucap Teguh ketika mengantarku pulang. Hari ini aku seharian menemani Vagetoz untuk mecari produser musik. Dan kami berhasil, mereka terlihat sangat bahagia. Berulang kali mereka mengucapkan kata syukur. Belum pernah aku melihat mereka sebahagia itu, rasanya perjuangan mereka selama ini sudah terbayarkan. “Oh iya , lusa jangan lupa datang ya. Aku ingin kamu lihat kami rekaman.” Lanjut Teguh.

“Tentu aku akan datang.” Balasku antusias.

Kami terdiam sesaat. Saling bertukar pandang tanpa tahu apa yang harus dilakukan. Aduh! Kenapa lagi ini? Jantungku…. Kupegangi jantungku, memastikan jantungku tidak keluar dari tempatnya. Sadarlah aku, ternyata Teguh memperhatikanku. Buru-buru kuturunkan tanganku, dan tersenyum dengan canggung.

“Ehm yasudah aku pulang ya?.” Ucapnya ragu, “Jangan lupa istirahat ya…. Maksudku  kamu pasti capek habis pergi seharian, dan mukamu terlihat pucat.” Sekarang Teguh yang terlihat salah tingkah, tangannya menggaruk-garukkan kepala yang aku yakin tidak gatal sama sekali.

“Kamu juga ya, Guh.” Hening kembali merayap, kemudian kami sama-sama tertawa, “Ah yasudah sana pulang, nanti kamu kemalaman.”

“Iya juga ya, aku pulang sekarang ya, sampai ketemu lagi.” Kemudian Teguh melenggang pergi.

Aku berbalik dan membuka gerbang, tapi kemudian aku berhenti. Sebelah tanganku memeganggi pintu gerbang dengan erat sedangkan yang lain memegangi kepalaku yang sepertinya berputar ini. Aduh kenapa ini? Pusing sekali. Lalu kata-kata Teguh terdengar ditelingaku “mukamu terlihat pucat.” Jangan lagi, aku mohon jangan sekarang. Kupaksakan kakiku tuk melangkah. Aku berusaha keras agar tak terjatuh. Ku hentikan langkahku didepan pintu kayu bercat putih, mengetuknya beberapa kali dengan pelan hingga aku yakin ayahku tidak bisa mendengarnya.

“Ayah, Vina pulang.” Geramku pelan. Seketika itu juga aku merasakan cairan pekat dibawah hidungku. Kusentuh cairan itu, bau amis menyeruak dihidungku. Kuangkat tiga jariku, berharap perasaanku salah. Kepalaku semakin pusing ketika aku melihat darah merah segar menempel diujung-ujung jariku. Darah! Kenapa harus seperti ini lagi? Aku tidak ingin merasakan ini lagi. Badanku sudah tak sanggup menahan putaran ini, aku ambruk, bersandar ketembok dibelakangku.

“Vina!.” Pekik ayah terkejut melihat keadaanku yang sudah bersimbah darah. Pandanganku menjadi kabur, aku melihat ayah berjongkok mencoba memapahku kedalam, kemudian semuanya menjadi gelap.

Aku tidak tahu sudah berapa lama aku tidak sadarkan diri. Yang jelas begitu aku sadara aku melihat tembok bercat putih, beberapa lampu yang sangat menyilaukan. Kulirik selang infuse yang menancap dipunggung tangan kananku. Ini pasti dirumah sakit. Sayup-sayup kudengar sebuah suara dari arah pintu masuk.

“Anak bapak harus segera mendapatkan penanganan yang lebih.” Itu suara dokter, dokter yang biasa menanganiku, aku hapal suaranya yang berat, “Penyebaran kankernya sangat cepat, hanya kemoterapi yang dapat memperlambatnya. Saya tidak menjamin Vina akan bertahan lebih lama lagi, untuk saat ini hanya keajaiban yang kita harapan.” Suara putus asa, ah apa mungkin kankerku ini sudah meningkat menjadi stadium dua?

Tak ada sahutan dari ayah, aku yakin ayah sedang berfikir. Kemudian aku mendengar suara hembusan napas berat. “Saya akan membawa Vina ke Singapura, disana dia akan mendapatkan pengobatan yang lebih baik.”

“Baiklah, saya akan urus semua keperluannya.” Tak lama kemudian aku mendengar suara pintu ditutup.

Ayah nampak sangat banyak pikiran, wajahnya lesu ketika berjalan kearahku. Tetapi ketika melihatku senyumnya mengembang, walau kentara sekali sangat dipaksakan.

“Apa yang dikatakan dokter?.” Tanyaku lemah.

“Kau akan baik-baik saja. Kau akan cepat sembuh.” Ucapnya, tanpa ada nada antusias disuaranya.

“Ayah bohong! Vina dengar semua yang diucapkan dokter.” Ayah tertegun, “Kankerku sudah stadium dua kan?.”

Ayah diam sejenak, seperti menimbang-nimbang kalimat terbaik yang akan dikeluarkannya.  “Kau akan baik-baik saja.” Ayah memasang senyum terbaiknya.

“Vina bukan anak kecil lagi yah.”

Tangan ayah mengelus-elus kepalaku, sorot matanya menggambarkan kecemasan yang sangat mendalam, “Kamu harus menjalani kemo, Vin.”

“Aku tidak ingin menjalani kemo!.” Ada sedikit nada histeris disuaraku. “Aku tidak ingin kehilangan semua rambutku.”

“Tapi kemo bisa menyelamatkanmu. Kamu tidak usah merana karena penyakit itu lagi!.”

“Percuma yah, toh pada akhirnya Vina akan meninggal seperti ibu.”

Ayah tersentak. Aku sadar aku telah membuat ayah sedih karena perkataanku, “Tapi kemo dapat menipiskan kemungkinan itu. Ayah tidak ingin kehilangan kamu, secepat ayah kehilangan ibumu.” Aku menyeasl karena telah membuat ayah sedih, tapi aku tidak ingin menjalani kemo, tidak ingin mendapatkan efeknya. “Ayah mohon kamu mau menjalani kemo, kita akan pergi ke Singapura pengobatan disana sangat bagus. Bukankah kau ingin sekali kesana?.” Aku memang ingin sekali pergi ke Siangpura, tapi bukan untuk melakukan itu.

Akhirnya aku pun harus tersenyum agar tak membuat ayahku terus bersedih, “Baiklah yah, Vina akan menuruti permintaan ayah.” Kataku luluh.

Mataku menangkap kalender dibelakang ayah. Sekarang sudah tanggal empat belas? Itu artinya aku sudah disini selama dua hari, dan sekarang Vagetoz rekaman. Aku tidak menepati janjiku pada Teguh. Apakah aku harus menemui mereka sekarang? Ah lebih baik tidak usah, aku tidak ingin membuat mereka sedih jika aku tidak pernah kembali. Maafkan aku teman-teman, maafkan aku Teguh, maaf aku tidak bisa menepati janjiku, maaf aku tidak menceritakan yang sesungguhnya pada kalian. Aku berharap suatu saat nanti semua yang kalian harapkan dapat terwujud, dan semoga kita bisa bertemu kembali suatu saat nanti dengan keadaan yang berbeda.

“Ayah akan mengurus semua kebutuhanmu.” Ayah berbalik dan berjalan menuju pintu.

“Yah!.” Cegahku, ayah berbalik lagi, “Tolong jangan beritahu Teguh, Soni, Eboth, Nuki dan Uday tentang keadaanku ini.” Ayah hanya tersenyum lalu kembali berjalan menuju pintu.

                                                              ***

Sudah enam bulan aku di Singapura. Aku sudah sangat terbiasa dengan segalanya yang berubah dalam hidupku. Dengan jadwal terapiku, kepalaku yang hampir plontos, dengan kulitku yang mulai menua, dan aku juga sudah terbiasa dengan kenyataan bahwa aku tidak pernah bertemu lagi dengan Teguh, Soni, Eboth, Nuki dan Uday. Tetapi aku sering mencari kabar tentang mereka, sekarang mereka sudah sangat terkenal dengan melahirkan sebuah album. Ingin rasanya aku bertemu dengan mereka, tapi mereka tak boleh melihatku dengan keadaanku yang seperti ini.

Aku memakai baju hangatku, memakai topi rajut berwana coklat untuk menutupi kepalaku, memakai sepatu botku, mengalungkan kameraku dan meraih jaketku yang kugantungkan di gantungan baju. Oh iya selama di Singapura aku dan ayah tinggal disebuah apartemen, yang ayah beli untuk tempat tinggal kami.

“Kamu mau kemana Vin?.” Tanya ayah mengalihkan pandangannya dari berita ditelevisi.

“Vina mau jalan-jalan yah.” Balasku, “Hanya didepan apartemen saja.”

“Jangan terlalu lama hari ini kau ada jadwal terapi.” Ayah selalu mengingatkan tentang itu.

“Vina ingat yah, Vina akan segera pulang.” Ucapku.

Aku berjalan keluar. Menyapa Max, satpam apartemenku yang selama ini menjadi temanku. Jalanan sudah mulai ramai, beberapa mobil berlalu lalang membelah jalanan yang sepi. Ku mulai memainkan kameraku, menangkap berbagai gambar. Aku berhenti ketika kameraku menangkap sesosok laki-laki, melihat kearahku. Dia menggunakan jaket hitam dan celana jins biru tua. Wajah laki-laki itu mengingatkanku pada seseorang. Aku berbalik dan berjalan menuju apartemenku, namun beberapa baru beberapa langkah pundakku ditahan oleh seseorang.

“Vina.” Teguh memanggil, “Kamu vina kan? Vin ternyata selama ini kamu disini? Aku…. Kami semua kangen kamu Vin.” Teguh mencerocos, tapi aku tak membalikkan badanku. Aku takut dia akan jijik melihat penampilanku. “Kamu kenapa Vin?.” Perlahan aku membalikkan tubuhku, ya benar saja Teguh sangat terkejut melihatku. “Vina?.” Gumam Teguh.

“Kamu pasti terkejut.” Ucapku lemah.

“Kamu kenapa Vin?.” Tanya Teguh khawatir.

Aku melepas topiku, memamerkan rambutku yang hampir plontos. Mata Teguh terbelalak melihatnya, mulutnya menganga lebar. Aku menahan diri agar tak menangis.

“Ada sesuatu yang tidak kamu ketahui tentang aku.” Aku menarik napas dalam-dalam, “Aku mengidap kanker otak.” Teguh tidak bergeming, aku sama sekali tak berani menatap matanya takut jika tiba-tiba pertahananku roboh, “Semua yang kamu lihat dulu, keceriaan, tawa riang, senda gurau itu hanyalah kamuflase semata, dibalik itu semua badanku rapuh, aku hanya menunggu waktuku tiba, hanya menunggu yang aku bisa. Dan semua ini, semua yang kamu lihat adalah kenyataan, kenyataan yang sebenarnya, buah hasil dari aku menjalani kemoterapi. Sesuatu yang hanya akan menghambat kematian.” Suaraku tercekat.

“Kenapa kamu tidak pernah bilang semuanya?.” Teguh terlihat untuk mencoba menguasai diri.

“Seperti yang kubilang, semua ini hanya untuk menghambat kematianku saja, semua yang kulakukan pada akhirnya akan sia-sia. Kecil kemungkinan aku akan sembuh, sewaktu-waktu penyakit ini bisa mengalahkanku, dan pada akhirnya aku akan meninggalkan dunia ini. Aku tidak ingin kalian sedih ketika aku pergi nanti, aku tidak ingin kalian menangisi kepergianku.” Sekeras apapun aku menahan untuk tidak menangis akhirnya pertahananku roboh juga, aku menangis, menangis didepan Teguh.

Kedua tangannya direngkuhkan dikedua pipiku, kemudian menghapus air mataku yang mulai jatuh. Matanya memandang mataku, dalam dan menusuk. Perasaan aneh ini lagi-lagi menyerbu, menerobos masuk kedalam jiwaku. Tapi aku tak bisa melakukan apa-apa, bahkan untuk bergeser sesentipun rasanya aku tak sanggup, mata itu menahanku pada tempatnya. Membuatku kaku seperti patung. Membuatku tak bisa lepas dari pandangannya. Teguh tolong hentikan pandangan itu, aku takut, aku takut badanku tidak kuat jika kamu melakukan itu! Erangku dalam hati.

“Justru dengan begini kamu membuat kami sedih. Kami mencarimu. Kami berusaha untuk mengetahui keberadaan kamu. Tapi semuanya nihil, kami tak pernah menemukanmu lagi. Kehilanganmu membuatku frustasi, karena kamu adalah inspirasiku Vin, kamu penyemangat dalam hidupku, kamu yang meyakinkanku kami pasti bisa mendapatkan produser. Dan disaat kami berhasil, kamu malah menghilang tanpa jejak. Tapi sekarang aku menemukanmu, aku tidak akan pernah mau untuk kehilanganmu, sungguh aku tidak mau.”

Aku tersenyum mendengar semua pengakuan Teguh. Ternyata selama ini Teguh menganggapku lebih, “Maaf, tapi aku tidak pernah benar-benar pergi, aku selalu mencari kabar tentang kalian. Kalian hebat sekali, banyak orang yang menjadi fans kalian, termasuk aku. Sekarang aku menjadi fans berat kalian, bahkan aku bisa saja bolos terapi untuk melihat konser kalian.” Kami tertawa bersamaan.

Kini tangan Teguh bergeser, meraih kedua tanganku. Lagi-lagi mata itu melekat dimataku, “Vin, ada sesuatu untukmu.”

“Apa itu?.” Teguh sudah menyiapkan kado untukku? Tidak mungkin, pertemuan ini saja tidak direncanakan, mana mungkin dia sudah menyiapkan hadiah untukku.

“Dengarkan baik-baik ya.” Aku memasang telingaku dengan benar. Sebuah suara mengalun lembut dari mulut Teguh, dan dia mulai bernyanyi, “Ervina kau adalah cinta dalam hidupku. dan takkan pernah ada yang lain. di hatiku selain dirimu, ooo sudahlah buang semua ragu dalam jiwamu. percayalah akan janji setiaku untuk selalu menjaga dirimu. Ervina, hanya kau yang terukir di hatiku dan ku selalu berharap semoga kita
kan abadi selamanya. Ervina, aku akan selalu mencintaimu dan aku akan selalu merindukan dirimu selamanya. biarkan orang berkata lain kepadamu  mereka hanya ingin membuat kita saling membenci cinta sulit ku pahami.” Dalam lagu itu ada namaku, apa mungkin lagu itu adalah ungkapan perasaannya?

Aku bertepuk tangan ketika dia menyelesaikan lagunya, “Itu lagu yang bagus sekali, aku menjadi semakin suka dengan kalian.” Kataku terpana.

“Lagu ini terinspirasi oleh mu, Vin.” Aku memandangnya tak percaya, “Sebenarnya aku sudah lama suka sama kamu Vin, tapi aku tidak yakin kamu juga menyukaiku. Kamu kan tahu saat itu aku hanyalah seorang penyanyi yang tidak tahu nasibnya akan seperti apa.”

Aku terkejut mendengar kata-kata yang meluncur dari mulut Teguh. Jadi selama ini Teguh suka samaku? Itu berarti cinta yang selama ini kupendam tidak bertepuk sebelah tangan. Hatiku melambung, menerbangkan semua keputus asaan, kesedihan, dan keterpurukan yang selama ini terpendam dalam jiwaku. Aku merasa sembuh, aku merasa semua penyakitku ini sudah menghilang, tak pernah lagi ada yang namanya kanker otak dalam tubuhku, semuanya sudah menghilang bersamaan dengan munculnya harapan baru.

“Kamu salah Guh, aku juga sudah lama menyukaimu.” Timpalku.

Kini Teguh yang terlihat tak percaya. Mulutnya berulang kali terbuka dan tertutup entah kata apa yang mau meluncur dari mulutnya, “Sungguh?.”

“Ya, tapi karena penyakit ini aku tidak berani untuk berharap lebih.” Lagi-lagi aku merasakan setruman kecil tatkala Teguh meraih kedua tanganku lagi.

“Ssst, kamu tidak usah memikirkan penyakit itu lagi. Sekarang akan ada aku yang selalu menjagamu. Aku akan selalu disampingmu, sampai waktu memisahkan kita. Bahkan aku rela berkorban untuk kamu Vin. Mengorbankan hidupku untuk hidupmu.”

“Kau bersungguh-sungguh?.”

“Aku tidak pernah merasa seyakin ini sebelumnya.” Kemudian Teguh memelukku erat sekali. Aku merasakan tatapan Max yang tajam kearah kami, begitupula merasakan pipiku yang mulai panas membara.

Akhirnya selama penyiksaan ini timbullah harapan baru. Harapan untuk meretas hidup yang baru. Hidup yang menjamin aku tidak akan pernah merasa kesepian lagi. Karena sekarang aku memiliki Teguh disampingku, yang akan selalu ada disampingku disisa-sisa hidupku.

***
Cerpen diatas hanya karangan semata. Sosok Ervina sendiri terinspirasi oleh lagu Vagetoz yang berjudul Ervina. Bagi kalian semua yang penasaran silahkan cari dan download langsung lagunya :D

Peace and Love
Widya