Sore ini begitu damai dan sepi. Tak banyak orang
berlalu lalang ditaman. Hanya ada beberapa anak kecil yang tengah asyik
bermain. Kumainkan kameraku, mengatur fokusnya lalu kutangkap gambar mereka.
Sorotan damai terpancar dari wajah masing-masing anak itu, meski mereka memakai
baju yang kumal dan lusuh namun mereka seperti tak ada beban. Mereka semua
terbebas dari beban, mereka tertawa lepas, bermain tanpa ada yang melarang.
Sayup-sayup aku mendengar sebuah suara, bukan suara tawa anak kecil, itu suara
musik. Ya aku mendengar sebuah musik! Tapi dimana dan siapa yang memainkannya?
Kulangkahkan kaki menuju selatan, melewati beberapa
remaja yang tengah berkumpul, tapi bukan mereka sumbernya. Kuberjalan lagi
lebih jauh, dan disana aku melihat lima orang laki-laki sedang bermain musik,
ya itu sumber suara itu. Mereka bukan pengamen jalanan, karena aku tak melihat
kaleng maupun benda lain yang biasa digunakan pengamen untuk menaruh uang. Lagi
pula suara dan cara mereka bermain musik terlalu bagus untuk ukuran pengamen.
Lebih baik kuabadikan gambar mereka. Kujepret kameraku. Mereka langsung
melihatu dengan ekspresi terkejut.
Aku memasang senyum, "Hai!." Sapaku.
"Kamu siapa?." Laki-laki yang paling
dekat denganku yang bertanya. Poninya yang panjang menjuntai menutupi sebagian
wajahnya. Aksen sundanya begitu kental terdengar dalam suaranya.
"Namaku Ervina." Aku mengulurkan tangan
yang langsung dibalas olehnya.
"Saya Teguh, ini teman-teman saya, Nuki,
Eboth, Uday dan Soni." Ucapnya memperkenalkan diri. Mereka tersenyum dan
mengangguk kearahku.
"Boleh aku ikut gabung?." Mereka terlihat
menimbang-nimbang dengan tawaranku. Aku tahu mereka pasti terheran-heran
melihat ada perempuan yang ingin ikut gabung dengan mereka, "Kalau kalian
keberatan aku tidak apa-apa, aku bisa pergi." Timpalku.
"Ah tidak, kami tidak keberatan ko."
Sahut Soni.
"Justru kami senang jika ada yang mau
mendengar kami bermain." Ucap Eboth dengan nada bercandanya.
Aku tersenyum mendengar ucapan Eboth dan mengambil
tempat duduk disebelah Teguh. Ternyata untuk membaur dengan mereka tidak
sesulit yang kubayangkan. Mereka semua sangat terbuka, ramai, dan gila. Tak ada
yang namanya jaga image. Semua kegilaan tergambar disetiap canda tawa.
Benar dugaanku, mereka semua orang sunda, lebih
tepatnya mereka datang dari Sukabumi. Mereka memiliki band bernama Vagetoz, dan
mereka datang ke Jakarta untuk mencari seorang produser rekaman. Lagu-lagu yang
mereka ciptakan sangat menyentuh dihati, permainan musik mereka juga sangat
bagus, jadi aku ragu jika ada produser musik yang menolak mereka. Yang membuat
mereka berbeda dari band-band yang sudah terkenal adalah warna vokal Teguh, itu
yang menurutku menjadikan ciri khas bagi mereka.
Kulirik jam tanganku. Sudah jam setengah enam, aku
harus pulang sekarang.
"Teman-teman aku harus pulang sekarang."
Ucapku setelah mereka selsai menyanyikan satu lagu ciptaan mereka.
"Perasaan baru sebentar ya." Sahut Nuki
yang juga melirik jam tangannya. "Besok kamu kesini lagi ya Vin."
Usulnya.
"Bener Vin, besok kamu kesini lagi aja. Kamu
bisa gratis dengerin lagu-lagu kita, sebelum kita terkenal, ya nggak?."
Uday membenarkan yang langsung dibalas dengan tawa kecil teman-temannya.
Aku tersenyum, "Pasti aku akan datang, hmm
kalian selalu disini, kan?." Tanyaku untuk kepastian.
"Setiap sore, ditempat yang sama kami selalu
ada." Jawab Teguh. "Yah lumayan buat cari inspirasi, siapa tahu ada
produser lewat trus kita diajak rekaman." Aku tertawa mendengar pernyataan
Teguh barusan.
"Oke, besok aku akan kesini lagi, sampai
ketemu besok ya." Aku berbalik dan berjalan meninggalkan mereka. Telingaku
mendengar seseorang menyuruh Teguh untuk mengantarku tapi aku tidak yakin itu
siapa.
"Vin tunggu!." Teriak Teguh, aku
berbalik. "Aku antar ya Vin." Aku sedikit terkejut dengan tawaran
Teguh ini, "Aku tidak tega membiarkan cewek ca.... maksudku ini sudah
sore, bahaya jika kamu jalan sendirian."
Aku mengangguk kecil, lalu kami beriringan berjalan
menuju rumahku. Perjalanan tak begitu terasa, sepanjang jalan Teguh
menceritakan perjalanan mereka dari Sukabumi sampai Jakarta ini. Perjalanan
mereka tidak bisa dibilang mudah, mereka banyak melalui lika-liku kehidupan,
mulai dari mengikuti berbagai festival band, dan menang dalam festival
tersebut, sampai mereka dilarang untuk mengikuti festival band lagi karena
mereka sudah terlalu sering menjuarai festival band. Aku membayangkan jika aku
yang ada diposisi mereka.
"Kalian memang hebat, belum pernah aku
menemukan orang seperti kalian, yang berusaha keras untuk menggapai
cita-cita." Ucapku ketika berada didepan rumahku.
Teguh tersipu malu, "Kamu terlalu berlebihan
Vin. Semua orang harus jatuh bangun terlebih dahulu untuk meraih
kesuksesan."
"Ya kau benar." Aku membenarkan,
"Masuk dulu yuk!." Ajakku.
"Ah tidak usah. Aku masih ada latihan sama
anak-anak." Ucapnya.
"Oh yasudah, hati-hati ya." Teguh hanya
tertawa kecil lantas pergi.
Aku masuk kedalam rumah. Ayah sudah menunggu
diruang tamu sembari membaca korannya. Kulirik jam dinding yang berada tepat
didepanku. Pantas saja sudah jam enam, ayah pasti sangat cemas aku tidak
pulang-pulang. Kuberjalan mendekati ayah, bersikap seolah tidak terjadi
apa-apa.
"Dari mana kamu Vin?." Tanya ayah.
"Dari taman yah, cari obyek foto yang
bagus." Jawabku.
Ayah melepas kacamatanya, dan menaruhnya diatas
meja, "Lantas laki-laki itu siapa?."
Aku berfikir sejenak, apakah aku harus memberitahu
ayah tentang pekrjaan Teguh? Ayah memang tidak pernah memandang orang dari
pekerjaannya. Tapi aku ragu juga akan menerima pekerjaan Teguh yang belum
pasti.
"Dia Teguh yah, dia...."
"Pengamen." Tebak ayah.
"Ayah!." Tegurku. "Teguh seorang
musisi yah, lagi pula dia dan teman-temannya baik sama Vina."
Ayah bersikap seolah tak mendengarkan, "Oh
jadi dia punya teman." Ayah mengangguk-angguk kecil.
"Vina bisa menjaga diri yah." Aku tetap
keras kepala.
Kini ayah tak bersikap acuhh, "Ayah percaya
kamu bisa jaga diri. Tapi ingat penyakitmu Vin, kamu tidak boleh terlalu
capek." Selalu saja tentang penyakit ini. Kenapa sih penyakit ini selalu
menghambatku?
Kalaupun aku terlihat baik-baik saja dari luar,
tetapi dari dalam diriku aku sama sekali tidak baik-baik saja. Aku mengidap
kanker otak stadium satu, baru sebulan yang lalu aku mengetahui aku mengidap
penyakit ini. Belum terlalu parah memang, tapi sewaktu-waktu aku bisa merasakan
pusing, dan yang parahnya aku bisa mimisan kemudian pingsan. Dokter sudah
menyarankan untuk menjalani kemoterapi, tetapi dengan keras kepala aku
menolaknya. Aku tahu akibat yang akan ditimbulkan dari terapi itu, kulitku akan
menua, rambutku perlahan rontok, dan kemudian aku akan terlihat seperti mayat
hidup. Aku lebih memilih untuk meminum obat, bukan untuk menyembuhkan memang
tapi hanya untuk mengurangi rasa sakitnya.
"Vina ingat itu yah, lagipula Vina selalu
membawa obat Vina." Aku mengayun-ayunkan obatku yang barusan kuambil dari
dalam tas.
Ayah tersenyum kecil, "Ayah percaya kamu. Oh
iya ngomong-ngomong siapa mereka itu? Kamu terlihat sangat bahagia sepertinya,
lain kali bawa temanmu itu kesini, ayah juga ingin kenal dengan
mereka."
Itulah ayahku yang kusayangi. Ibuku sudah meninggal
semenjak umurku sepuluh tahun, karena penyakit ini. Itu yang membuat ayahku
begitu menjagaku, tapi aku meyakinkan ayahku bahwa aku baik-baik saja.
Hari-hari berikutnya ayah sudah tak pernah
mempermasalahkan lagi jika aku pulang bersama anak-anak Vagetoz. Jika ayah
sedang bosan ayah selalu mengajak mereka bermain catur secara bergantian. Dan
ayah selalu mengalahkan mereka. Tapi setelah sekian lama bermain dengan ayah,
kini Teguh menjadi lawan yang berat bagi ayah. Ayah sampai kewalahan menghadapi
Teguh.
Tak tahu mengapa kini aku sering memperhatikan
Teguh. Terkadang dia menjadi sangat begitu serius, tapi kemudian dia bisa
sangat mencair. Jantungku selalu saja meloncat-loncat ketika aku bersama dia.
Aku luluh menahan getaran-getaran aneh yang timbul. Apa mungkin ini yang
namanya cinta? Apa aku masih pantas merasakannya? Sementara hidupku sudah tak
akan lama lagi.
"Vin, makasih ya untuk hari ini." Ucap
Teguh ketika mengantarku pulang. Hari ini aku seharian menemani Vagetoz untuk
mecari produser musik. Dan kami berhasil, mereka terlihat sangat bahagia.
Berulang kali mereka mengucapkan kata syukur. Belum pernah aku melihat mereka
sebahagia itu, rasanya perjuangan mereka selama ini sudah terbayarkan. “Oh iya
, lusa jangan lupa datang ya. Aku ingin kamu lihat kami rekaman.” Lanjut Teguh.
“Tentu aku akan datang.” Balasku antusias.
Kami terdiam sesaat. Saling bertukar pandang tanpa
tahu apa yang harus dilakukan. Aduh! Kenapa lagi ini? Jantungku…. Kupegangi jantungku,
memastikan jantungku tidak keluar dari tempatnya. Sadarlah aku, ternyata Teguh
memperhatikanku. Buru-buru kuturunkan tanganku, dan tersenyum dengan canggung.
“Ehm yasudah aku pulang ya?.” Ucapnya ragu, “Jangan
lupa istirahat ya…. Maksudku kamu pasti
capek habis pergi seharian, dan mukamu terlihat pucat.” Sekarang Teguh yang
terlihat salah tingkah, tangannya menggaruk-garukkan kepala yang aku yakin
tidak gatal sama sekali.
“Kamu juga ya, Guh.” Hening kembali merayap,
kemudian kami sama-sama tertawa, “Ah yasudah sana pulang, nanti kamu
kemalaman.”
“Iya juga ya, aku pulang sekarang ya, sampai ketemu
lagi.” Kemudian Teguh melenggang pergi.
Aku berbalik dan membuka gerbang, tapi kemudian aku
berhenti. Sebelah tanganku memeganggi pintu gerbang dengan erat sedangkan yang
lain memegangi kepalaku yang sepertinya berputar ini. Aduh kenapa ini? Pusing
sekali. Lalu kata-kata Teguh terdengar ditelingaku “mukamu terlihat pucat.”
Jangan lagi, aku mohon jangan sekarang. Kupaksakan kakiku tuk melangkah. Aku berusaha
keras agar tak terjatuh. Ku hentikan langkahku didepan pintu kayu bercat putih,
mengetuknya beberapa kali dengan pelan hingga aku yakin ayahku tidak bisa
mendengarnya.
“Ayah, Vina pulang.” Geramku pelan. Seketika itu
juga aku merasakan cairan pekat dibawah hidungku. Kusentuh cairan itu, bau amis
menyeruak dihidungku. Kuangkat tiga jariku, berharap perasaanku salah. Kepalaku
semakin pusing ketika aku melihat darah merah segar menempel diujung-ujung
jariku. Darah! Kenapa harus seperti ini lagi? Aku tidak ingin merasakan ini
lagi. Badanku sudah tak sanggup menahan putaran ini, aku ambruk, bersandar
ketembok dibelakangku.
“Vina!.” Pekik ayah terkejut melihat keadaanku yang
sudah bersimbah darah. Pandanganku menjadi kabur, aku melihat ayah berjongkok
mencoba memapahku kedalam, kemudian semuanya menjadi gelap.
Aku tidak tahu sudah berapa lama aku tidak sadarkan
diri. Yang jelas begitu aku sadara aku melihat tembok bercat putih, beberapa
lampu yang sangat menyilaukan. Kulirik selang infuse yang menancap dipunggung
tangan kananku. Ini pasti dirumah sakit. Sayup-sayup kudengar sebuah suara dari
arah pintu masuk.
“Anak bapak harus segera mendapatkan penanganan
yang lebih.” Itu suara dokter, dokter yang biasa menanganiku, aku hapal
suaranya yang berat, “Penyebaran kankernya sangat cepat, hanya kemoterapi yang
dapat memperlambatnya. Saya tidak menjamin Vina akan bertahan lebih lama lagi,
untuk saat ini hanya keajaiban yang kita harapan.” Suara putus asa, ah apa
mungkin kankerku ini sudah meningkat menjadi stadium dua?
Tak ada sahutan dari ayah, aku yakin ayah sedang
berfikir. Kemudian aku mendengar suara hembusan napas berat. “Saya akan membawa
Vina ke Singapura, disana dia akan mendapatkan pengobatan yang lebih baik.”
“Baiklah, saya akan urus semua keperluannya.” Tak
lama kemudian aku mendengar suara pintu ditutup.
Ayah nampak sangat banyak pikiran, wajahnya lesu
ketika berjalan kearahku. Tetapi ketika melihatku senyumnya mengembang, walau
kentara sekali sangat dipaksakan.
“Apa yang dikatakan dokter?.” Tanyaku lemah.
“Kau akan baik-baik saja. Kau akan cepat sembuh.”
Ucapnya, tanpa ada nada antusias disuaranya.
“Ayah bohong! Vina dengar semua yang diucapkan
dokter.” Ayah tertegun, “Kankerku sudah stadium dua kan?.”
Ayah diam sejenak, seperti menimbang-nimbang
kalimat terbaik yang akan dikeluarkannya.
“Kau akan baik-baik saja.” Ayah memasang senyum terbaiknya.
“Vina bukan anak kecil lagi yah.”
Tangan ayah mengelus-elus kepalaku, sorot matanya
menggambarkan kecemasan yang sangat mendalam, “Kamu harus menjalani kemo, Vin.”
“Aku tidak ingin menjalani kemo!.” Ada sedikit nada
histeris disuaraku. “Aku tidak ingin kehilangan semua rambutku.”
“Tapi kemo bisa menyelamatkanmu. Kamu tidak usah
merana karena penyakit itu lagi!.”
“Percuma yah, toh pada akhirnya Vina akan meninggal
seperti ibu.”
Ayah tersentak. Aku sadar aku telah membuat ayah
sedih karena perkataanku, “Tapi kemo dapat menipiskan kemungkinan itu. Ayah
tidak ingin kehilangan kamu, secepat ayah kehilangan ibumu.” Aku menyeasl
karena telah membuat ayah sedih, tapi aku tidak ingin menjalani kemo, tidak
ingin mendapatkan efeknya. “Ayah mohon kamu mau menjalani kemo, kita akan pergi
ke Singapura pengobatan disana sangat bagus. Bukankah kau ingin sekali
kesana?.” Aku memang ingin sekali pergi ke Siangpura, tapi bukan untuk
melakukan itu.
Akhirnya aku pun harus tersenyum agar tak membuat
ayahku terus bersedih, “Baiklah yah, Vina akan menuruti permintaan ayah.”
Kataku luluh.
Mataku menangkap kalender dibelakang ayah. Sekarang
sudah tanggal empat belas? Itu artinya aku sudah disini selama dua hari, dan
sekarang Vagetoz rekaman. Aku tidak menepati janjiku pada Teguh. Apakah aku
harus menemui mereka sekarang? Ah lebih baik tidak usah, aku tidak ingin
membuat mereka sedih jika aku tidak pernah kembali. Maafkan aku teman-teman,
maafkan aku Teguh, maaf aku tidak bisa menepati janjiku, maaf aku tidak
menceritakan yang sesungguhnya pada kalian. Aku berharap suatu saat nanti semua
yang kalian harapkan dapat terwujud, dan semoga kita bisa bertemu kembali suatu
saat nanti dengan keadaan yang berbeda.
“Ayah akan mengurus semua kebutuhanmu.” Ayah
berbalik dan berjalan menuju pintu.
“Yah!.” Cegahku, ayah berbalik lagi, “Tolong jangan
beritahu Teguh, Soni, Eboth, Nuki dan Uday tentang keadaanku ini.” Ayah hanya
tersenyum lalu kembali berjalan menuju pintu.
***
Sudah enam bulan aku di
Singapura. Aku sudah sangat terbiasa dengan segalanya yang berubah dalam
hidupku. Dengan jadwal terapiku, kepalaku yang hampir plontos, dengan kulitku
yang mulai menua, dan aku juga sudah terbiasa dengan kenyataan bahwa aku tidak
pernah bertemu lagi dengan Teguh, Soni, Eboth, Nuki dan Uday. Tetapi aku sering
mencari kabar tentang mereka, sekarang mereka sudah sangat terkenal dengan
melahirkan sebuah album. Ingin rasanya aku bertemu dengan mereka, tapi mereka
tak boleh melihatku dengan keadaanku yang seperti ini.
Aku memakai baju hangatku,
memakai topi rajut berwana coklat untuk menutupi kepalaku, memakai sepatu
botku, mengalungkan kameraku dan meraih jaketku yang kugantungkan di gantungan
baju. Oh iya selama di Singapura aku dan ayah tinggal disebuah apartemen, yang
ayah beli untuk tempat tinggal kami.
“Kamu mau kemana Vin?.” Tanya
ayah mengalihkan pandangannya dari berita ditelevisi.
“Vina mau jalan-jalan yah.”
Balasku, “Hanya didepan apartemen saja.”
“Jangan terlalu lama hari ini kau
ada jadwal terapi.” Ayah selalu mengingatkan tentang itu.
“Vina ingat yah, Vina akan segera
pulang.” Ucapku.
Aku berjalan keluar. Menyapa Max,
satpam apartemenku yang selama ini menjadi temanku. Jalanan sudah mulai ramai,
beberapa mobil berlalu lalang membelah jalanan yang sepi. Ku mulai memainkan
kameraku, menangkap berbagai gambar. Aku berhenti ketika kameraku menangkap
sesosok laki-laki, melihat kearahku. Dia menggunakan jaket hitam dan celana
jins biru tua. Wajah laki-laki itu mengingatkanku pada seseorang. Aku berbalik
dan berjalan menuju apartemenku, namun beberapa baru beberapa langkah pundakku
ditahan oleh seseorang.
“Vina.” Teguh memanggil, “Kamu
vina kan? Vin ternyata selama ini kamu disini? Aku…. Kami semua kangen kamu
Vin.” Teguh mencerocos, tapi aku tak membalikkan badanku. Aku takut dia akan
jijik melihat penampilanku. “Kamu kenapa Vin?.” Perlahan aku membalikkan
tubuhku, ya benar saja Teguh sangat terkejut melihatku. “Vina?.” Gumam Teguh.
“Kamu pasti terkejut.” Ucapku
lemah.
“Kamu kenapa Vin?.” Tanya Teguh
khawatir.
Aku melepas topiku, memamerkan
rambutku yang hampir plontos. Mata Teguh terbelalak melihatnya, mulutnya
menganga lebar. Aku menahan diri agar tak menangis.
“Ada sesuatu yang tidak kamu ketahui
tentang aku.” Aku menarik napas dalam-dalam, “Aku mengidap kanker otak.” Teguh
tidak bergeming, aku sama sekali tak berani menatap matanya takut jika
tiba-tiba pertahananku roboh, “Semua yang kamu lihat dulu, keceriaan, tawa
riang, senda gurau itu hanyalah kamuflase semata, dibalik itu semua badanku
rapuh, aku hanya menunggu waktuku tiba, hanya menunggu yang aku bisa. Dan semua
ini, semua yang kamu lihat adalah kenyataan, kenyataan yang sebenarnya, buah
hasil dari aku menjalani kemoterapi. Sesuatu yang hanya akan menghambat
kematian.” Suaraku tercekat.
“Kenapa kamu tidak pernah bilang
semuanya?.” Teguh terlihat untuk mencoba menguasai diri.
“Seperti yang kubilang, semua ini
hanya untuk menghambat kematianku saja, semua yang kulakukan pada akhirnya akan
sia-sia. Kecil kemungkinan aku akan sembuh, sewaktu-waktu penyakit ini bisa
mengalahkanku, dan pada akhirnya aku akan meninggalkan dunia ini. Aku tidak
ingin kalian sedih ketika aku pergi nanti, aku tidak ingin kalian menangisi
kepergianku.” Sekeras apapun aku menahan untuk tidak menangis akhirnya
pertahananku roboh juga, aku menangis, menangis didepan Teguh.
Kedua tangannya direngkuhkan
dikedua pipiku, kemudian menghapus air mataku yang mulai jatuh. Matanya
memandang mataku, dalam dan menusuk. Perasaan aneh ini lagi-lagi menyerbu,
menerobos masuk kedalam jiwaku. Tapi aku tak bisa melakukan apa-apa, bahkan
untuk bergeser sesentipun rasanya aku tak sanggup, mata itu menahanku pada
tempatnya. Membuatku kaku seperti patung. Membuatku tak bisa lepas dari pandangannya.
Teguh tolong hentikan pandangan itu, aku takut, aku takut badanku tidak kuat
jika kamu melakukan itu! Erangku dalam hati.
“Justru dengan begini kamu
membuat kami sedih. Kami mencarimu. Kami berusaha untuk mengetahui keberadaan
kamu. Tapi semuanya nihil, kami tak pernah menemukanmu lagi. Kehilanganmu
membuatku frustasi, karena kamu adalah inspirasiku Vin, kamu penyemangat dalam
hidupku, kamu yang meyakinkanku kami pasti bisa mendapatkan produser. Dan
disaat kami berhasil, kamu malah menghilang tanpa jejak. Tapi sekarang aku
menemukanmu, aku tidak akan pernah mau untuk kehilanganmu, sungguh aku tidak
mau.”
Aku tersenyum mendengar semua
pengakuan Teguh. Ternyata selama ini Teguh menganggapku lebih, “Maaf, tapi aku
tidak pernah benar-benar pergi, aku selalu mencari kabar tentang kalian. Kalian
hebat sekali, banyak orang yang menjadi fans kalian, termasuk aku. Sekarang aku
menjadi fans berat kalian, bahkan aku bisa saja bolos terapi untuk melihat
konser kalian.” Kami tertawa bersamaan.
Kini tangan Teguh bergeser,
meraih kedua tanganku. Lagi-lagi mata itu melekat dimataku, “Vin, ada sesuatu
untukmu.”
“Apa itu?.” Teguh sudah
menyiapkan kado untukku? Tidak mungkin, pertemuan ini saja tidak direncanakan,
mana mungkin dia sudah menyiapkan hadiah untukku.
“Dengarkan baik-baik
ya.” Aku memasang telingaku dengan benar. Sebuah suara mengalun lembut dari
mulut Teguh, dan dia mulai bernyanyi,
“Ervina kau
adalah cinta dalam hidupku. dan takkan pernah ada yang lain. di hatiku selain
dirimu, ooo sudahlah buang semua ragu dalam jiwamu. percayalah akan janji
setiaku untuk selalu menjaga dirimu. Ervina, hanya kau yang terukir di hatiku
dan ku selalu berharap semoga kita
kan abadi selamanya. Ervina, aku
akan selalu mencintaimu dan aku akan selalu merindukan dirimu selamanya.
biarkan orang berkata lain kepadamu
mereka hanya ingin membuat kita saling
membenci cinta sulit ku pahami.” Dalam lagu itu ada namaku, apa mungkin lagu
itu adalah ungkapan perasaannya?
Aku bertepuk tangan ketika dia
menyelesaikan lagunya, “Itu lagu yang bagus sekali, aku menjadi semakin suka
dengan kalian.” Kataku terpana.
“Lagu ini terinspirasi oleh mu,
Vin.” Aku memandangnya tak percaya, “Sebenarnya aku sudah lama suka sama kamu
Vin, tapi aku tidak yakin kamu juga menyukaiku. Kamu kan tahu saat itu aku
hanyalah seorang penyanyi yang tidak tahu nasibnya akan seperti apa.”
Aku terkejut mendengar kata-kata
yang meluncur dari mulut Teguh. Jadi selama ini Teguh suka samaku? Itu berarti
cinta yang selama ini kupendam tidak bertepuk sebelah tangan. Hatiku melambung,
menerbangkan semua keputus asaan, kesedihan, dan keterpurukan yang selama ini
terpendam dalam jiwaku. Aku merasa sembuh, aku merasa semua penyakitku ini
sudah menghilang, tak pernah lagi ada yang namanya kanker otak dalam tubuhku, semuanya
sudah menghilang bersamaan dengan munculnya harapan baru.
“Kamu salah Guh, aku juga sudah
lama menyukaimu.” Timpalku.
Kini Teguh yang terlihat tak
percaya. Mulutnya berulang kali terbuka dan tertutup entah kata apa yang mau
meluncur dari mulutnya, “Sungguh?.”
“Ya, tapi karena
penyakit ini aku tidak berani untuk berharap lebih.” Lagi-lagi aku merasakan
setruman kecil tatkala Teguh meraih kedua tanganku lagi.
“Ssst, kamu tidak usah
memikirkan penyakit itu lagi. Sekarang akan ada aku yang selalu menjagamu. Aku
akan selalu disampingmu, sampai waktu memisahkan kita. Bahkan aku rela
berkorban untuk kamu Vin. Mengorbankan hidupku untuk hidupmu.”
“Kau
bersungguh-sungguh?.”
“Aku tidak pernah
merasa seyakin ini sebelumnya.” Kemudian Teguh memelukku erat sekali. Aku
merasakan tatapan Max yang tajam kearah kami, begitupula merasakan pipiku yang
mulai panas membara.
Akhirnya selama
penyiksaan ini timbullah harapan baru. Harapan untuk meretas hidup yang baru.
Hidup yang menjamin aku tidak akan pernah merasa kesepian lagi. Karena sekarang
aku memiliki Teguh disampingku, yang akan selalu ada disampingku disisa-sisa
hidupku.
***
Cerpen diatas hanya karangan
semata. Sosok Ervina sendiri terinspirasi oleh lagu Vagetoz yang berjudul
Ervina. Bagi kalian semua yang penasaran silahkan cari dan download langsung
lagunya :D
Peace and Love
Widya